Aaron: Where You Go?

37 10 15
                                    

Meskipun pada akhirnya tak bisa bersama. Percayalah, jiwa ini akan selalu ada, meski raga tak bisa kaupeluk.

Dariku untukmu yang saat ini merindu.

•••••

“Galuh ngehamilin perempuan, Bu!” kata Kak Aaron to the point. Netra yang semula berbinar cerah itu tiba-tiba menatap Kak Aaron dengan tatapan yang kecewa bercampur marah.

“Jangan sembarangan, Ron!” tukas Bu Darsih. Sorot matanya melihat Kak Aaron dengan tatapan tak suka. Sekilas pemuda itu menatap ke arahku.

Dari matanya terlihat begitu bingung. Seakan berkata ‘bagaimana cara meyakinkannya’. Aku paham kondisinya. Aku mengelus pelan bahu pemuda itu. “Jangan emosi,” kataku pelan.

“Bu. Apa yang kita lihat baik belum tentu baik,” kata Kak Aaron.

“Dan dia tidak seburuk yang terlintas di pikiran kamu, Ron,” kata Bu Darsih. Ibu anak itu seakan tengah cosplay kalimat cantik yang beratasnamakan Ali bin Abi Thalib.

Dari sini, aku seakan kehilangan arah. Galuh begitu bermuka dua. Dia baik, tapi dia juga bejat. Aku acungi jempol untuk kebaikannya terhadap panti ini, tapi aku tak bisa memungkiri kalau dia memang telah membunuh Bang Fiyan, bahkan menghamili perempuan.

Kutarik lengan Bang Fiyan. “Jangan paksa. Allah bakal kasih jalan kalau emang ini yang harus kita tuntaskan.” Raut wajah Kak Aaron berubah menjadi sendu.

“Maaf, ya.” Ia melirih sambil menatapku sebentar, lalu kembali menatap Bu Darsih dengan tatapan kecewanya.

Aku menggeleng. “Nggak papa, Kak. Tenang aja.” Aku mengajaknya untuk duduk di kursi teras. Setelah kami duduk, aku mulai menatapnya lekat lagi. “Harusnya gue yang minta maaf sama lu. Karna masalah gue, lu jadi kebawa gini.”

Aku menunduk. Kembali merasa bersalah seperti sedia kala. Terlalu banyak waktu yang ia habiskan untuk masalahku yang tidak kelar-kelar ini. Ya Allah ... kapan masalah Galuh berakhir? Kapan hamba bisa membantu Kak Aaron untuk mengikis lukanya.

“Saf.” Panggilan khasnya membuat aku menoleh. “Lu boleh bilang maaf ataupun makasih, but, satu hal yang harus lo tau. Gue sama sekali nggak merasa direpotin.”

Kupaksakan tersenyum menatap ke arahnya yang terlihat tulus dari sorot matanya. “Waktu lu terlalu berharga cuma buat masalah gue yang sama sekali nggak ada sangkut-pautnya sama masalah lu.”

“Ada. Kata siapa nggak ada?” katanya mengelak.

“Emang ada?” tanyaku. Dia mengangguk. “Apa?” lanjutku.

“Karna gue sayang sama lu.” I–ini apa sih.

Kugelengkan kepala sambil terkekeh pelan. “Di situasi pelik gini lo sempet bercanda, Kak,” kataku sambil menunduk, tapi senyum miring itu belum usai.

“Gue nggak bercanda.” Mataku seketika membulat. “Gue emang sayang sama lo.” Kutatap dia lagi. Aku ... nggak budeg, ‘kan?

“Jangan bilang sayang kalo lu nggak mau nikahin,” kataku spontan.

“Nikahin? Emang gue ngapain lu?” tanyanya.

“Lu bilang sayang, ya lu harus nikahinlah udah buat gue baper gini!” ketusku.

“Gue tuh bilang sayang, beda sama cinta, Saf.”

O–oh beda, ya? Berarti selama ini aku yang terlalu berharap? K–kok sakit, ya Allah.

“Tapi gue cinta sih sama lu.” Seketika aku meraih lembaran koran yang saling bertumpuk di atas meja dan memukulkan ke arahnya.

Dia meringis sambil tertawa. Menyatukan jari jempol dan telunjuknya sambil berkata, “Dikit.” Dia tertawa lagi membuatku meneriaki namanya sampai semua pusat mata anak-anak fokus kepada kami. Aish. Malu.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang