Aaron: Saffron Sad

45 11 25
                                    

Pada akhirnya, kehilangan respectmu lebih menyakitkan daripada kehilangan ragamu. Karena bertemu pun kita tak lagi saling menyapa. Entah karena sudah ada yang baru atau justru ada ego yang enggan menurun.

Safiyya to Aaron.

•••••

From Safiyya to Aaron.

Hai Kak. Apa kabar? I hope you still fine today, tomorrow, and forever. Maaf, ya kalau gue sering buat kecewa. Makasih banyak hari-hari yang telah kita lalui bersama. Aku bersyukur banget sama Allah karena udah deketin kita.

Dongeng lu indah banget sampek waktu gue mau pecahin itu, gue malah nemu potongan kisah lu yang baru. Seistimewa itu ya history hidup lu? Bodohnya, gue malah makin kehanyut buat nyari tau semua itu. That amazing for me.

Surat ini gue tulis, karena gue kangen. Bukan sebagai adik kelas, tapi sebagai status baru yang ternyata kita adalah sepupu. Mengingat semua yang terjadi dengan hidup lu sampai mengira kalau daddy gue adalah pembunuhnya, gue terima, dan gue akan bantu dengan senang hati untuk mencari tau kebenarannya karena orang tua kita berdua adalah adik kakak, dengan kakaknya yang saling membenci.

Gue janji untuk ini semua. I’m really promise.

Aku memasukkan surat itu ke dalam amplop dan menyimpannya di laci. Mulut tak lagi dapat digerakkan, maka jari jemari ini yang akan mewakilkan. Aku tidak diam, hanya jemariku yang berbicara.

—————

Ketika kaki gadis itu menapak di pekarangan sekolah, hal pertama yang netranya cari adalah Aaron, ia berharap bisa menemukan pemuda itu hari ini. Safiyya sudah berjanji untuk ikut membantu mencari tahu tentang masalah yang dialami oleh Aaron, dan semua ini harus ia bicarakan dengan Aaron sendiri.

Sungguh, Allah sangat berbaik hati. Aaron seketika sudah ada di hadapan Safiyya dengan setelan seragam yang rapi.

“Kak.” Gadis itu memanggil canggung, tapi yang membuat kecewa adalah Aaron yang sama sekali tak membalas, bahkan sekadar menatap saja enggan.

“Kak.” Dia berusaha mendekati Aaron yang sudah melenggang jauh. “Kalau memang bokap gue yang udah bunuh keluarga lo, gue siap buat nyari tau.”

Langkah Aaron seketika terhenti. Tanpa membalik badan, laki-laki itu hanya bergeming. Pikirannya sedang menari ke sana ke mari. Namun, tak sampai dua menit, ia memutuskan untuk kembali berjalan membuat Safiyya berdecak kesal sekaligus kecewa.

Gadis itu ingin mendekat. Hatinya seakan tersayat belati kala mengingat dulu pernah sedekat kening dan sajadah, tapi sekarang seakan ada tembok tebal yang membuat keduanya terhalang.

Dua hari berselang. Aaron tak lagi melihat Safiyya sejak hari itu. Pasti hatinya rindu, tapi ia tolak dalam-dalam. Sudah cukup keluarganya membuat ia hancur, jangan Safiyya. Pemuda itu ingin menjauh dan lenyap dari kehidupan Safiyya. Ia tak ingin semuanya terluka. Meski sikapnya mungkin dapat membuat Safiyya merasa tersakiti, tapi ini lebih baik, pikirnya.

Bel pulang tanda kepulangan sekolah membuat riuh siswa-siswi di sini berhambur keluar dari kelasnya masing-masing. Termasuk Safiyya yang kini sudah bersiap akan segera meluncur menuju Jakarta Pusat. Sebelum benar-benar mencari tahu Nurin Laksmita, anak itu mampir membeli bahan bakar bensin untuk motornya sekaligus ke supermarket mencari air mineral.

Sepintas. Saat mengeluarkan motornya dari parkiran, netra Safiyya melihat Aaron yang baru saja datang ke mari mengambil motornya. Safiyya menunduk. Ia tahu Aaron butuh waktu. Ia tak seharusnya memaksa.

Aaron membuang muka, sambil berjalan menuju motornya, tatapan pemuda itu kosong. “Apa pun yang saat ini terjadi, maaf, gue harus pergi.

Pada akhirnya, kehilangan respectmu lebih menyakitkan daripada kehilangan ragamu. Karena bertemu pun kita tak lagi saling menyapa. Entah karena sudah ada yang baru atau justru ada ego yang enggan menurun.” Safiyya ikut bermonolog.

Lagi-lagi netra gadis itu hanya mampu melihat keadaan Aaron dari jauh. Meskipun menyakitkan, tapi ia tahu Tuhan memiliki cara tersendiri untuk membuat Aaron bahagia, sekalipun ia merasa terluka, tapi luka ini bukan untuk membuatnya menyerah, tapi justru membuatnya semakin semangat untuk kembali mendapatkan versi ceria pemuda yang belakangan ini ia rindukan.

—————

Aku melajukan motor. Tepat di depan supermarket, aku memarkirkan motor dan segera melesat menuju kulkas untuk mencari beberapa minuman yang menurutku menggiurkan. Semoga saja tidak lelah dan harus siap-siap tangannya merasa tak bisa digerakkan apabila menyetir terlalu lama. I wish itu tidak akan terjadi kali ini.

“Allah akan menolongku hari ini. Bismillah aku bisa! Tanpamu, hatiku akan semakin kuat bila ditempa seperti berlian, tapi adanya kamu, justru membuat berlian itu jauh lebih memancar indah, sepupuku.”

Dulu, saat hati ini masih gengsi dalam berucap, bahkan hanya sekadar mengatakan suka, mulut ini bisu. Entah karena takut akan endingnya, atau justru hal menyakitkan yang lainnya.

Remuk memang saat dia menuding tanpa ragu, berteriak heboh mengatakan bahwa daddyku adalah pembunuh. Anak mana yang emosinya tidak bergemuruh? Namun, hati ini tak bisa menolak untuk rindu. Rindu semua hal tentangnya, terlebih yang paling menawan, senyuman.

Jadi teringat saat mama bertemu lagi dengan Aunty Gabriella. Usia Kak Aaron saat itu 12 tahun katanya. Sebelum pembunuhan masal itu terjadi, mungkin. Katanya, saat itu mama dan Aunty Gabriella tak sengaja kembali berpapasan di toko kue. Bedanya, tangan Aunty Gabriella menggandeng seorang anak laki-laki, beliau berpikir bahwa itu adalah Aaron kecil saat itu.

Mungkin masih mengganjal di hati banyak orang. Nama Aaron banyak, tapi mengapa mamaku bisa seyakin itu. Katanya, mereka sempat dekat setelah upaya mama mendekati Aunty Gabriella karena posisinya saat itu Aunty takut dengan keluarga Lee.

Sebelum kematian Bang Fiyan, keduanya sempat bertemu, bahkan sempat berkata kepada mama. “Tolong jaga Aaron El-Amin kalau semisal aku dan suamiku pergi. Tolong cari dia. Dia pasti ganteng kok. Kamu nggak akan malu buat rawat dia di rumahku.

‘Dia pasti ganteng, kok. Kamu nggak akan malu buat rawat dia di rumahku.’ Dua kalimat itu seakan menunjukkan bahwa Aunty Gabriella ketakutan. Sayangnya ini semua miris. Mama lebih dulu diterjang badai hingga janji almarhumah Aunty Gabriella tak bisa ditepati bagaimana semestinya.

Aku berjalan memasuki tempat pembelajaan, mengambil apa yang aku ingin, lalu menuju kasir dan bersiap untuk membayar, beres dengan semuanya aku langsung keluar mendekat ke motor sambil melihat struk belanja. Meremasnya, lalu memasukkan ke dalam sampah, agaknya aku tidak butuh meskipun diskon yang tertulis bisa menghasilkan uang.

Satu kantong plastik dari supermarket mendadak jatuh ketika tubuh ini tak sengaja menabrak seseorang. Aduh. Aku membungkuk, mengambil ponselnya yang jatuh.

“Maaf, ma——NURIN LAKSMITA?”

•••••

To be continued.

Nurin Laksmita? Really?

All rights reserved. Tag me on instagram @syadrabakri if you want to share special part or everything about this stories.

Indonesia, 11 Desember 2021 | Jangan lupa prioritaskan Al-Qur’an.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang