Aaron: Among Us

39 11 61
                                    

Seperti games among us. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang memiliki peran untuk menghancurkan hidup, sekalipun itu bagian dari tim sendiri.

•••••

Tanganku gemetar memegangi kertas yang berisi tulisan tangan milik Bang Fiyan. Haruskah aku menangis dan terlihat lemah di depan Kak Aaron hari ini?

Tangannya mengelus bahuku pelan. “Tenang, ya.”

Aku menggeleng. “Dia udah keterlaluan sama Abang ....” Aku tak habis pikir. Bagaimana bisa laki-laki tua itu menyiksa Bang Fiyan.

“I know tindakan Galuh ini salah, tapi apa kamu nggak mau cari bukti di sini, lagi? Kita bisa tuntut dia atas pencemaran nama baik loh kalau misalkan kita dapat bukti lebih banyak.” Kak Aaron ada benarnya.

“Ayo ulas!” antusiasku. “Cara paling tepat buat nuntut Kak Aaron adalah kesaksian dari Nurin Laksmita.” Dia mengangguk. “Tapi gimana caranya?” keluhku.

Kak Aaron terlihat berpikir. “Ini susah. Jakarta luas. Belum tau juga dia udah pindah atau gimana. Yang jelas, satu-satunya cara adalah ke rumah Galuh, kita cari bukti di sana.” Mendengar kalimat ‘ke rumah Galuh’ membuat bulu-bulu di leherku menegang. Lintasan memori ini mengingat pada kejadian itu.

“Kak!” aku baru sadar tentang konflik yang terjadi pada saat itu. Galuh yang mendekat ke kasur seakan ... seharusnya mendengar berita hari ini aku tidak terkejut, karena dia memang bejat.

Ingin kuceritakan ini semua kepada Kak Aaron, tapi aku urung. Biar dia tau akhir masalahnya saja. Jangan sampai dia tau kalau aku, sudahlah.

“Kenapa?” tanyanya. Aku menggeleng. “Dasar cewek.”

“Kak. Gue ke rumah Galuh, gue nggak yakin kita bisa.” Aku menunduk sambil memperhatikan nama yang tercantum di sana. “Rumah dia penjagaannya ketat. Belum tentu kita bisa dapatin bukti di sana.”

“Kita cari fotonya aja. Habis itu kita cari dia.”

“Cari foto di rumah Galuh?” tanyaku. Dia mengangguk. “Gimana kita masuknya, Kak?”

“Bu Panti.”

“Who is?”

“Bu Panti itu ibu panti di Panti Asuhan tempat gue tinggal. Beliau kenal dekat sama Galuh, karena Galuh emang bermuka dua. Di depan anak-anak panti, dia baik banget, tapi, gue baru tau, kalau dia ternyata sebejat itu.” Sama, Kak. Gue juga nggak nyangka dia bakal sebejat itu. Dulu, saat ada Bang Fiyan, dia baik banget, tapi ternyata, dia sendiri yang menghancurkan hidup abang gue.

“Ya ... seperti game among us. Ada impostor yang kita nggak tau, sekalipun itu bagian dari tim kita.” Kak Aaron mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Jadi, kita ke panti tempat gue tinggal sekarang?” tanya Kak Aaron. Aku terdiam, melibatkan orang lain lebih banyak semakin aku merasa memiliki hutang budi. “Saf.” Kak Aaron memanggil. Kutatap dia sebentar, lalu menunduk.

“Gue nggak mau ngerepotin kalian,” kataku.

“Kita nggak merasa direpotin,” katanya yang terlihat meyakinkan, sayangnya, itu nggak mempan.

Tiba-tiba, aku menemukan ide. “Gue punya sosial media, dan gue follow Galuh. Bisa aja kita cari foto milik Nurin Laksmita di pengikutnya Galuh.”

Mata Kak Aaron terlihat berbinar. “Brilliant banget ide lu.”

Aku tersenyum sambil meletakkan jari jempol dan telunjukku di bawah dagu. “Gue aja sekolah di Brilliant School, masak iya otak gue masih one-gi.” Kak Aaron tertawa, lebih tepatnya, kami berdua saling tertawa.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang