Aaron: Move On

132 21 57
                                    

Moving on can’t mean refusing to remain attached to the past.

•••••

Napasku memburu, sebelah kiri perutku sudah kesakitan, tapi harus aku tahan demi nyawa seseorang. Satu lantai lagi aku sampai ke rooftop, tapi, rasanya seperti menaiki dari satu langit sampai ke langit ke tujuh.

Aku mendobrak kencang pintu menuju ke rooftop. Tidak peduli kerusakan yang nantinya akan terjadi. Aku mengulurkan tanganku lemas sambil meneriaki nama Kak Aaron. Sebelah kakinya masih sama, menggantung di pembatas rooftop.

Laki-laki aneh itu sama sekali tak menatap atau memperhatikan kehadiranku. Ia masih sama. Memandang ke alam luar. Dengan cara jalan yang masih sempoyongan, aku mendekat ke arahnya.

“Kak. Lu gila, ya?! Bunuh diri nggak akan nyelesain masalah, yang ada––” aku mengatur napas sejenak, “tambah nambah masalah,” lanjutku dengan suara yang lirih.

Dia kembali mengambil posisi normal. Membuat jantungku sedikit lega. Anak itu berjalan mendekat ke arahku yang sudah terduduk lemas. Setidaknya, hari ini aku merasa berguna karena telah menyelamatkan nyawa seseorang.

“Yang mau bunuh diri tuh, siapa?” aku memundurkan kepalaku. Menatapnya dengan kedua alis yang saling mengerut.

“Lah woi, lu ngapain kakinya nggantung kayak gitu.”

Kak Aaron mengedarkan pandangannya. Cuaca hari ini cukup panas, angin rooftop juga kencang, sesekali ia menyibak rambutnya ke belakang. Lidahnya terlihat menjilat bibir miliknya yang kering.

“Karna gue mau.”

Tiga kata itu telah berhasil membuat nyawaku kembali utuh. Aku berdiri dengan emosi yang menggebu.

“Enteng banget lu ngomong kayak gitu! Lu nggak liat gue lari-larian dari lantai satu sampe lantai empat buat nolongin lu doang, Kak!”

“Lah. Inisiatif lu sendiri, ‘kan? Nggak salah dong gue.” Ada benarnya juga, sih.

Kak Aaron berjalan mendekat ke arahku. Mengikis jarak yang ada di antara kita.

“Lu suka, ya, sama gue?”

Spontan mulutku kembali menganga. Kenapa bisa Kak Aaron menyimpulkan ini. Lagi pula, dia percaya diri sekali!

“Cewe nggak mungkin akan bersikap secemas ini kalo dia nggak lagi jatuh cinta sama crushnya.”

“Tau apa lu tentang perempuan?”

“Bilang aja. Gue juga suka sama lo.” Gila! Mendadak norepinefrin milikku bekerja, membuat semu merah itu muncul. Memalukan.

Aku langsung mengambil alih menjauh dari Kak Aaron. Ayo Safiyya, lu nggak boleh baper sama omongannya Kak Aaron. Dasar perempuan, disentil pakai rayuan aja udah baper sampai kebayang-bayang.

“Ternyata ... di balik keanehan lu yang tiap detik-detik masuk kelas ada di kolong meja, lu masih normal ju––” aku menggantung ucapanku. Setelah senyuman manis yang tertampil di wajah Kak Aaron, tiba-tiba saja hilang dan berganti menjadi mimik mukanya yang terlihat menyeramkan. Seketika aku menunduk, tak berani menatapnya lagi.

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang