Aaron: Cerdikiawan

56 16 90
                                    

Orang yang masih memiliki muka untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf adalah orang pilihan, artinya dia hebat.

•••••

Di dalam benakku, terdapat banyak pantulan-pantulan pertanyaan yang membutuhkan jawabannya malam ini juga. Sayangnya, orang yang kubutuhkan jawabannya masih mematung yang membuatku gengsi ingin bertanya. Harusnya lebih peka dong. Secara kemarin sudah aku sindir secara halus.

Berkali-kali aku menghembuskan napas berat, memberikannya aba-aba bahwa aku ingin mendengar jawabannya meski tersirat. Bukannya jawaban yang kudapat, malah lirikan sinis yang mematikan. Dasar.

Kupandangi langit malam yang saat ini sedang berhias; chandra yang hampir terbentuk bulat, kilauan bintang yang dahayu, bahkan langit gelap yang begitu pekat dengan relung anila yang menghunus jiwa membuatku melipat kedua tangan saling bertumpu. Kedinginan dalam keheningan. Cocok untuk judul cerita saat ini.

Masih setia dengan langit, atau bumantara yang saat ini sedang kupandangi, tiba-tiba aku merasa pergerakkan tangan seseorang tengah memakaikanku sebuah jaket kulit hitam. Dalam hati aku menganga saking terkejutnya.

“Biar nggak dingin.”

Tiga kata yang kudengar saat ini berhasil membuat bulu-bulu dalam leherku berdiri-diri. Kumajukan sedikit bibirku, satu-satunya hal yang dapat aku lakukan dari mengatasi salting adalah memajukan sedikit bibir.

Lama-lama nggak kuat juga diem-dieman begini.

“Eung ... Kak!”

Sebisa mungkin aku mencoba untuk menghilangkan rasa canggung ini. Harus berani bertanya supaya dapat memberikan jawaban yang akurat.

Dia tidak membalasnya dengan sepatah kata pun, tapi cukup disegani ketika seluruh tubuhnya menghadap ke arahku. Mendadak aku ingin melayang karena good attitudenya.

“Sebenernya, lu tau gue ada di sana?”

Nampak sekali pemuda di hadapanku ini memutar bola mata malas. “Gue kenal dia dari sembilan tahun lalu.” Kubelalakkan mata terkejut. Sembilan tahun? Itu bukan waktu sedikit.

“Ya. Galuh itu orang baik.” Baik dari mana.

“Tapi dulu. Jauh sebelum kejadian ini menimpa lo.” Kak Aaron mendongakkan kepalanya. Menatap langit yang beberapa menit lalu aku tatap. “Dia itu suka berdonasi di panti asuhan tempat gue tinggal.” Dua kali aku memberi reaksi yang sama.

“Be–bentar, Kak. Lu ....” Kak Aaron mengangguk sebelum aku melanjutkan apa yang ingin ia tanyakan.

“Iya. Gue tinggal di panti asuhan sejak lima tahun lalu.” Kak Aaron kini menatapku. “G–gue, eung ... gue ....” Aku tahu, mungkin ini sebuah kisah kelam Kak Aaron. Sebaiknya gue hindarin.

“Intinya aja, Kak. Kenapa lo bisa ada di sini?”

“Ah, anu. Bu Panti tadi sore minta gue buat nganter buah ke Bang Galuh. Dia bilang dia sakit, makanya hari ini nggak ke Panti, padahal udah jadwalnya. Karena Bu Panti juga ada halangan, gue yang mewakilkan jadinya.”

“Pas gue masuk di gerbangnya, gue udah ngeri karna nggak sengaja liat temen Bang Galuh gelantungan di pembatas besi tangga lewat jendela yang kelambunya masih kebuka dikit. Akhirnya gue coba intip, rupanya ada lu di situ. Gue semakin bertanya-tanya di situ, tapi pas ngeliat sikap lu kayak ngelawan mereka, gue urung semua. Gue balik arah, kayaknya lo emang ada dalam masalah.”

“Sebentar, Kak!” meleyot gue. Aku memberhentikan paksa apa yang hendak Kak Aaron lanjutkan. Biar aku mengatur napas karena tidak bisa menahan kemeleyotan ini. Huh. “Oke, lanjut.”

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang