Aaron: Plan with Safiyya

31 11 25
                                    

Tuhan selalu memiliki plot twist dalam skenarionya.

•••••

Aku menggebrak meja sambil meringis ketika tak sengaja jari di kakiku menabrak kaki kursi. Ingin mengumpat saja rasanya. Di luar itu, aku berhasil mengirim foto milik Nurin Laksmita ke ponselku, kini sudah tersimpan di galeri, tapi yang membuatku ragu, nama Nurin Laksmita banyak. Bisa jadi dia hanyalah orang yang mirip.

Sebelum bertenteng ke publik, sebaiknya aku mencari wanita ini sendiri. Zaman sekarang teknologi sudah canggih. Posisi terakhirnya seingatku ada di Jakarta Pusat. Dilihat dari foto ini, Nurin Laksmita yang mendiang Bang Fiyan tulis memiliki ciri-ciri yang hampir sama; mirip seperti orang korea dan rambutnya pirang, tapi di foto ini rambutnya terlihat agak pirang. Apa dia orang yang sama?

Netraku kembali fokus ke arah laptop. Kini, beranda internetku penuh dengan lokasi-lokasi di sekitar Jakarta Pusat. Mungkin aku bisa memulai langkah ini dengan mencari sampai ke pelosok JakPus, tapi aku tidak bisa sendiri. Mengajak Kak Aaron sepertinya sangat sulit, aku tak lagi bisa meminta bantuan darinya, meski aku perlu. Tahan. Masih ada orang selain Aaron.

Di sisi lain, aku juga merasa penasaran mengapa Kak Aaron menyebut keluargaku adalah keluarga pembunuh. Apa memang pembunuhan masal yang terjadi di rumah Kak Aaron melibatkan daddy?

Mana dulu yang harus hamba selidiki, ya Allah? Kasus pelenyapan Bang Fiyan, atau Kak Aaron? Hamba sama-sama ingin menuntaskan keduanya, tapi hamba bingung mana yang harus lebih dulu digali?

“Kasus Bang Fiyan lebih utama. Galuh bisa masuk penjara dan menambah waktu hukum dengan kasus yang baru, alasan nyata pembunuhan.”

“Dulu masih kurang jelas. Itu artinya, Bang Fiyan lebih prioritas timbang Kak Aaron, tapi di sisi lain, Bang Fiyan pernah memberikan kode untuk aku dekat dengan Kak Aaron selalu. Ini rumit.”

Kakiku menarik laci paling bawah yang tergabung dengan meja belajar. Aku sedikit membungkuk ke samping meraih notebook yang biasanya kuisi dengan planner mingguan atau bulanan, untuk harian, sangat jarang.

Jariku membuka lembar demi lembar sampai menemukan halaman yang kosong, kuambil pulpen yang berdiri miring di depanku. Membuka tutupnya lalu menulis beberapa hal yang harus aku kerjakan.

Untuk berkeliling ke Jakarta yang cukup luas, apalagi seorang diri, aku harus memicil day by day agar semua bisa terlaksana meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untuk berkeliling ke Jakarta yang cukup luas, apalagi seorang diri, aku harus memicil day by day agar semua bisa terlaksana meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama.

Pintu tiba-tiba terbuka, membuatku menutup langsung halaman notebook. Netraku melihat ke arah pintu kamar, wanitaku masuk dengan senyumnya. Melihat senyuman itu, tiba-tiba terlintas sejenak tentang Kak Aaron yang mama kenali. Apa saat ini waktu yang tepat untuk bertanya?

“Fiyya lagi apa?” tanya mama sambil menarik kursi yang tingginya setengah dari kursi yang aku duduki saat ini.

Aku menggeleng pelan sambil terkekeh. “Lagi nugas, Ma.”

AARON: Skizofrenia [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang