45

885 37 2
                                    

Sinar matahari sore terlihat cantik menyusup ke celah-celah pepohonan rindang yang terlihat dari jendela kafe hari ini. Di sinilah Sara. Duduk seorang diri menikmati minumannya sembari menunggu kehadiran mereka.

Ya, Kale dan Anne—calon istri pria itu—tengah dalam perjalanan menuju kafe milik Kale.

Sempat mengobrol guna melepaskan rasa rindu dengan pegawai kafe. Ada beberapa yang tak dikenal, ada pula yang kini tidak lagi bekerja di sana. Ia hanya menemui Ade dan Amel. Mereka berdua terlihat banyak bertumbuh dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Bahkan mereka memamerkan cincin pertunangan mereka di hadapan Sara.

"Mbak, nanti kalau kita nikah, dateng ya." Pinta Amel yang diangguki semangat oleh Ade.

"Lihat nanti." Jawab Sara diiringi senyuman kecil.

Sebuah notifikasi pesan terdengar dari ponselnya. Tertera nama 'Adam Mahendra' di sana. Membuat Sara menghela napas.

Hubungannya dengan pria itu kini agak renggang. Akibat perbicaraan mereka tempo lalu. Dan mereka tidak kunjung berbaikan. Tetapi dapat Sara rasakan jika partner-nya itu mencoba untuk mengajaknya kembali rukun.

Kenapa gak bilang Kakak kalau mau ke Jakarta?
Kakak bisa anter kamu.

Pesan Adam sontak membuat Sara tersenyum miris. Ia kini dihadapkan dengan dua pilihan akibat pria itu. Entah, bahkan ia belum mengambil keputusan. Ia bingung.

"Maaf baru dateng." Suara tidak asing milik seorang pria memasuki rungunya. Lantas ia menoleh dan mendapati Kale—masih dengan kemeja yang digunakan praktik di rumah sakit—berjalan ke arahnya diikuti oleh seorang wanita cantik bergaun putih sederhana.

Dua sosok itu kemudian duduk di hadapannya dan tersenyum sopan. Kale menatap wanita-nya sejenak dan tersenyum sebelum memandang Sara.

"Lama nunggunya?"

Sara hanya menggeleng kecil lalu tersenyum sebisanya. "Gak kok. Tenang aja."

"Alright then. Sara, as I told you before. Here, Anne, my fiancé."

Wanita itu—Anne—mengeluarkan tangannya dan tersenyum merekah. Cantik. "Anne, Kale banyak cerita tentang kamu."

"Sara. Oh iya? Kamu gak cerita kebiasaan jelek aku kan?" Sara mencoba bercanda dengan pura-pura kesal lalu menuduh pria itu. Membuat yang dituduh hanya menggelengkan kepala, membuktikan diri tidak bersalah.

"Gak, beneran deh." Tangannya membentuk dua jari 'v'. "Aku cerita yang baik-baik. Sumpah."

Sedangkan Anne hanya tertawa melihatnya.

"Kalian gimana ceritanya kok bisa kenal. Ceritain dong." Wajahnya antusias. Tetapi hatinya berdenyut tidak karuan.

"Dia temen aku waktu koas." Kale memulai cerita. "Kita sering bareng istirahatnya."

"Iya, sama Ai-Laura juga. Mereka temen kamu kan? Mereka berdua juga cerita loh tentang kamu." Anne menambahkan. "Oh iya, dulu, Kale cuek banget. Ngeselin pokoknya. Emang gitu ya sifatanya?"

Kale sontak cemberut kesal. "Masa sih? Aku kok ngerasa biasa aja."

"Ya—itu kan dari sudut pandang kamu. Aku yang ngerasain betapa cueknya kamu."

Something, We Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang