40

582 37 0
                                    

Content warning//slightly mature—be wise!

"Kamu tahu alasan Mami menjodohkan kamu?"

Sara menarik napas berat. "Karena keturunan kan?"

"Sebenernya ada satu alasan terbesar, Sara." Grace menggenggam tangan anaknya penuh sayang.

Alis wanita itu terangkat sebelah. Menandakan bahwa ia penasaran akan penjelasan ibunya.

"Ketika Papi sama Mami tahu kalau kamu hanya ingin berkarir di sisa hidup kamu, itu membebani pikiran kami."

Sara—tetap dengan pandangan bingungnya—menatap Grace diam.

"Kamu tahu? Pemikiran kamu yang seperti itu membuat kami takut, Nak."

"Bagian mananya Mi? Aku cuma mau hidup se-mandiri mungkin. Aku cuma mau hidup bebas mencari kebahagiaan aku sendiri." Suaranya terdengar sedih. Pemikiran orangtuanya tidak sejalan.

"Ketika kamu gak punya keturunan, siapa yang akan merawat kamu di hari tua? Ketika kamu gak punya pendamping hidup siapa yang mau menjaga kamu nanti? Kami takut Nak. Gak selamanya kami hidup di sini. Ada masanya kami harus pulang ke Tuhan." Mata Grace berkaca-kaca. Sontak Sara pun ikut sedih mendengar ucapan ibunya. Pandangannya ia alihkan menatap jendela kamarnya.

Ucapan Grace dibenarkan oleh logikanya.

"Siapa yang akan menjaga Sara kami ketika kami sudah gak ada lagi?" Wanita paruh baya itu beralih merangkul anaknya dan meremas bahunya. "Mami sayang sama kamu. Papi juga. Jadi jangan berpikiran ketika kami menikahkan kamu dengan Kale, kami tidak sayang sama kamu. Kami cuma khawatir, Nak."

"Mami jangan ngomong gitu." Ketusnya sembari menghapus air matanya menggunakan kerah baju. "Sara bisa jaga diri sendiri."

"Manusia itu hakikatnya makhluk sosial, se-mandiri nya kamu nanti, pasti suatu saat butuh bantuan orang lain. Kalau di hari tua nanti kamu butuh sesuatu atau kamu sakit, siapa yang akan membantu kamu?"

Sara tertegun.

"Papi sama Mami punya satu sama lain. Kami juga punya kamu." Tambahnya. Sontak Sara kembali menangis. "Mami paham maksud kamu yang hanya ingin menjadi wanita karir. Mami dukung. Tapi tolong, pikirkan masa tua kamu nanti. Jangan hidup sebatang kara sayang. Jangan hidup sendirian. Kamu pasti kesepian. Percaya Mami."

Sara menatap bintang yang tengah bersinar terang malam ini. Lantas ia mengeratkan cardigan merah muda yang membalut tubuhnya. Ucapan Grace lima tahun lalu—tepat setelah perceraiannya dengan Kale—terputar kembali di ingatannya.

Maminya benar. Ia mulai kesepian.

Padahal, beberapa tujuannya telah tercapai. Sara berhasil lulus dengan ipk yang cukup memuaskan. Magang di perusahaan impiannya, sampai perpanjangan kontrak di perusahaan tersebut. Kini ia telah menjadi pegawai tetap sebagai software engineer di salah satu perusahaan teknologi. Semua itu membuatnya puas dan bahagia.

Akan tetapi itu semua hanya kebahagiaan sesaat.

Wanita itu kemudian memejamkan matanya. Mengingat semua memori pernikahannya yang bahagia. Memori yang sengaja ia rekam setiap menitnya. Memori yang ia tujukan untuk momen seperti ini. Momen dimana ia merasa sendiri. Setidaknya, memori pernikahannya membuat ia bahagia barang sejenak. Senyuman Kale, kehangatan rumahnya, serta segala peristiwa yang menggetarkan hatinya. Membuat ia tersenyum simpul.

"Aku pernah bahagia." Lirihnya. "Makasih Kale."

Lama ia termenung, sampai terdengar sesuatu yang memecahkan lamunannya.

Something, We Called It LoveWhere stories live. Discover now