43

560 38 0
                                    

Content warning//slightly mature—be wise!

"Kamu jangan nyesel." Adam membuka suara.

"Aku—gak tahu. Rasa nyesel pasti ada." Sara yang bersandar pada dadanya hanya mendesah berat.

Malam setelah Kale dan Sara menyelesaikan hubungan mereka, kini Adam dan wanita itu tengah merenung di ruang tamu.

Adam yang mendapati Sara menangis sesenggukan di sudut sofa, selepas mengantarkan Kale keluar gedung, sontak menghampiri Sang Wanita dan menenangkannya. Lama ia membiarkan Sara mengeluarkan keluh kesahnya. Ia hanya diam mendengarkan sembari sesekali memberikan kata-kata sayang.

"Kamu nangis lama banget." Candanya. "Mukanya udah bengkak semua tuh."

Sara berdecak kesal lalu kembali mengelap ingusnya menggunakan tisu. "Cih ngeselin."

"Kakak mau bilang sesuatu. Tapi jangan disela. Maaf kalau nanti ada yang buat kamu tersinggung."

Sara lantas mengangguk. Kepalanya mendangak, menatap wajah tenang Adam.

"Kakak tahu kamu bohong sama perasaan sendiri. Jangan dipaksa Sara. Kalau kamu beneran cinta, harus jujur. Karena Kakak lihat, bukan cuma kamu yang tersakiti di sini. Ada Kale yang lebih hancur dari kamu."

"Kakak gak masalah kalau disuruh mundur. Eit—jangan mikir Kakak gak sayang ya sama kamu. Tapi ngelihat kalian berdua sama-sama sakit, bikin hati Kakak ikut sakit."

"Kamu dapat kepastian dari Kale." Matanya memandang Sara sendu. "Sedangkan Kakak—gak bisa kasih kamu kepastian."

"Kita kaya orang bodoh, Sara. Hubungan kita gak jelas. Bahkan hubungan kita cuma berlandas nafsu—"

Belum sempat Adam menyelesaikan perkataannya, Sara memeluknya erat. "Kak, berhenti." Pintanya memelas.

"Kakak belum selesai Sara." Ucapnya sedih. "Kamu jangan menampik fakta kalau hubungan kita hanya sekedar memuaskan satu sama lain. Kakak bahkan gak menghadap orang tua kamu untuk hubungan kita. How coward I am?"

"Kakak gak minta izin sama orang tua kamu, tapi Kakak udah berhubungan sama anaknya. Kakak gak bertanggung jawab. Kakak juga gak bisa menjamin selamanya bakal ada sama kamu. Ada masanya kita hidup terpisah. Kakak yakin itu."

"Ada masanya kita jenuh sama hubungan kita. Di saat-saat itu kita harus apa?" Adam memandang Sara skeptis.

Sedangkan Sara perlahan mengelus rahang Adam.

"Kak, aku udah nyaman sama kita, at least for now. Ini hidup yang aku mau. Aku juga pernah bilang kalau aku gak mau berkomitmen sama laki-laki manapun. Bahkan Kale."

"You love him, Sara. Don't be denial."

"I do love him."

Hati Adam sakit mendengar ucapan Sara. Tetapi bukankah ini faktanya?

"Tapi, aku gak bisa terjebak di status istri." Lirihnya. "Aku suka kita yang hidup sendiri-sendiri, tetapi saling menguntungkan satu sama lain. Aku gak menampik fakta kalau hubungan kita berlandaskan hubungan badan. Tapi kita sendiri bersikap layaknya keluarga. Kita gak bisa acuh terhadap masing-masing. Rasa sayang kita tumbuh setiap harinya, Kak. Aku harap Kakak sadar."

Tangan Sara yang sedari tadi menangkup pipi Adam, mengelusnya lembut menggunakan ibu jari. "Kak, aku sayang sama kamu. Untuk sekarang bisa gak kalau kita cukup menikmati keadaan yang ada. Urusan perpisahan itu nanti. Pasti ada jalan keluarnya. Entah kita masih tetep bareng atau jalan sendiri-sendiri."

Hati Adam terbuka mendengar ucapan Sara. Membuat akal sehatnya hilang entah kemana.

Lantas wajahnya mendekat, hawa panas dapat ia rasakan menerpa hidung dan bibirnya. Kemudian, ia membawa Sara dalam pagutan dalam. Menyalurkan rasa sayang yang tidak pernah terucap seutuhnya.

Something, We Called It LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang