39

438 39 0
                                    

"Long time no see, Sara." Kale mempersilahkan Sara duduk di bangku taman.

Satu bulan setelah peristiwa malam itu, kini Kale dan Sara tengah duduk di taman pengadilan negeri. Hanya membutuhkan satu kali sidang tanpa adanya mediasi, keduanya telah menjadi orang asing bagi satu sama lain. Sehabis palu diketuk, mereka berbicara empat mata.

"Long time no see." Sara tersenyum simpul. Di matanya, mantan suaminya itu banyak berubah hanya dalam kurun waktu satu bulan. Kale terlihat menyedihkan, rambutnya memanjang dengan rambut tipis yang menghiasi bawah hidung sampai dagu.

"Gimana kabar kamu?" Matanya memandang ke arah jalan raya yang cukup padat kendaraan lalu lalang sedari tadi.

"Baik, kamu?" Sara pun ikut memandang ke arah depan. Tidak tega untuk menatap orang yang pernah memberinya kebahagiaan dulu.

"As you can see." Jawabnya implisit. Enggan memberikan pernyataan jelas. "Dapet salam dari kafe." Kale terkekeh mengingat kelakuan pegawainya selepas mengetahui perceraiannya dari Abian. "Si Amel nangis waktu tahu tentang kita."

Sara pun ikut tertawa pelan. Ah—ia pasti akan merindukan semuanya. Semua kenangan manis di kafe sudut perempatan kampus. Serta semua kenangan dengan pemilik kafe tersebut.

But life must go on, doesn't it?

"Bilangin, aku titip salam balik."

"Gak mau mampir kafe aja?"

"Boleh?" Sara menatap penasaran.

"Kenapa gak?" Kale tersenyum, balas menatapnya. "Habis ini ya, aku masih mau ngobrol berdua sama kamu."

Sifat lembut itu tidak berubah. Membuat Sara merasakan kehangatan luar biasa. Tetapi ia tersadar jika sifat itu tidak hanya untuknya lagi. Akan ada wanita lain yang beruntung mendapatkan perhatian seorang Kaleandra Widjaja.

Hatinya sakit walaupun ia sendiri yang berharap demikian.

"Semester tiga susah gak?" Sara bercanda.

"Susah, tapi mau gimana lagi?" Kale terkekeh. "Kamu udah ospek berarti?"

"Udah, ini aku izin dua hari."

"Semangat ya."

"Terima kasih."

Hanya itu. Kecanggungan menguar diantara mereka berdua. Bingung mencari topik perbicaraan.

"Gimana perasaan kamu?" Kale kembali membuka obrolan.

"It feels awesome." Matanya memandang langit. Nada bicaranya terdengar meyakinkan. Akan tetapi mata tidak dapat berbohong. Sara enggan menatap Kale. Takut jika pria itu mengetahui perasaan kehilangan mendalam yang dirasakannya. Membuatnya harus beradaptasi dengan status dan lingkungan baru.

"Good to hear that." Kale memandangi sosok istrinya yang tidak banyak berubah satu bulan ini. Kontras dengan dirinya yang tidak terlihat baik-baik saja. Sara jauh terlihat bahagia. "Aku masih susah untuk menerima semuanya." Ucapnya jujur.

Hati Sara berdenyut mendengar ucapan mantan suaminya. Lantas ia menghela napas menetralkan sakit hatinya. "Kita beradaptasi, Kale. Kita harus berdamai sama masa lalu. Hidup kamu terlalu berharga untuk stuck di masa lalu kita. Find someone new. Someone who can love you back. Yang bisa kasih kamu cinta. Bukan aku orangnya. Aku jelas gak akan bisa kasih kamu cinta atau apapun itu yang gak masuk di akal." Sara berkata dengan penuh penekanan. Guna menyadarkan Kale jika menunggu dirinya bukanlah hal yang baik. Walaupun ia mengkhianati perasaannya sendiri.

Sara tidak dapat memberikan Kale kebahagiaan. Justru, wanita itu hanya akan menjadi penghambat bagi Kale untuk membentuk keluarga kecil impiannya.

Hati Kale seperti ditusuk ketika mendengar pernyataan Sara. Mengatakan bahwa cinta adalah hal yang tidak masuk akal.

Something, We Called It LoveWhere stories live. Discover now