36

457 36 0
                                    

Content warning//mature—please be wise!
Bisa di skip bagian yang kedua-ketiga! Tetapi selain itu, boleh dibaca karena masih bagian cerita yang membangun suasana.

"Aku bisa kasih kita solusi." Kale tetap berada pada posisinya, berlutut. "Dengerin aku. Please." Matanya berkaca-kaca. Tangannya menangkup pipi Sara.

Sara terdiam dengan pandangan kosong.

"Kamu pergi ke Bandung, empat tahun kuliah di sana. Tanpa kita ketemu sama sekali. Aku gak masalah kita gak komunikasi selama itu. Tapi tolong, jangan ceraiin aku."

"Mungkin kamu butuh waktu, Sara. Aku bisa kasih kamu waktu."

"Kale kamu harus tahu sesuatu." Sara menggenggam kedua tangan Kale yang berada di pipinya. "Aku gak butuh suami—"

"—Aku cuma butuh pemuas nafsu."

Perasaan Kale sudah tidak dapat digambarkan lagi. Terlalu kacau. Apa selama ini Sara hanya menganggapnya sebagai pelampiasan nafsu? Apa Sara hanya menganggap inti pernikahan mereka adalah berhubungan badan?

God, Kale hancur.

"Aku gak butuh komitmen." Sara menatap Kale rendah.

"Kalau kamu memang gak mau kita cerai, berarti kamu siap cuma jadi pemuas aku. You choose, Kale."

Harga diri Kale jatuh jauh ke dasar bumi mendengar penuturan Sara. Apa ia harus memilih opsi kedua? Setidaknya ia masih dapat bersama Sara. Tetapi di sisi lain, egonya menolak mentah-mentah semuanya. Ini tidak masuk akal. Pernikahannya hanya sebatas hubungan seksual.

Walaupun Kale menikmatinya, tetapi bukan ini yang menjadi alasannya untuk menikah. Ia ingin membangun keluarga kecil yang bahagia. Apa yang dikatakan Sara tidaklah benar. Hal itu menodai sumpah pernikahan mereka yang mereka ambil di hadapan Tuhan.

Sekilas memori bahagia muncul di benaknya. Memikirkan keharmonisan pernikahan mereka di beberapa momen. Lalu tersadar jika itu semua adalah kepalsuan. Membuatnya kembali menunduk dan menangis. Tangannya kemudian ia lepaskan dari pipi Sara dan memukul lututnya sendiri.

Mereka terdiam cukup lama. Kale menangis untuk pertama kalinya di hadapan Sara. Sosok kuat yang mendampinginya setahun terakhir ini hancur. Membuat Sara ikut menitikkan air matanya sesekali.

"Fine." Kale akhirnya membuka suara. Wajahnya mendangak, menatap Sara dalam. "Ayo kita bercerai."

Deg.

Sara kembali menangis. Hatinya seperti ditusuk belati. Tangannya sontak bergetar merasakan sesuatu yang menyakitkan di tubuhnya.

Bukankah ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu? Kenapa rasanya begitu menyakitkan. Seharusnya ia bahagia. Lantas Sara bertekad mengeraskan hatinya dan menghapus air matanya.

Perlahan, Kale bangkit dan mengambil surat perceraian yang telah disiapkan Sara. "Tapi aku punya satu syarat."

Sontak Sara menatap Kale dengan alis terangkat sebelah.

"Kalau kamu memang gak pernah cinta sama aku, aku minta untuk malam ini sampai besok siang berpura-puralah, Sara. Pura-pura kalau kamu cinta sama aku. Biar aku bisa ngerasain dicintai kamu walaupun itu palsu."

Kale menjeda kalimatnya cukup lama.

"Setelah itu, aku kembalikan kamu ke orang tua kamu."

Melihat Sara yang terdiam menatapnya sedari tadi membuat Kale tersenyum kecil. Lebih tepatnya miris. "Aku tunggu di kamar. Sekarang aku mau nelpon Papi kamu dulu." Ucapnya datar sembari berjalan meninggalkan Sara dengan membawa surat perceraian mereka.

Something, We Called It LoveWhere stories live. Discover now