Dan ketika waktu berkunjung habis, seperti biasa, Galih berpamitan di ruang jaga dan memeriksa apa saja yang dibutuhkan oleh Ibu tirinya itu saat kunjungan selanjutnya. Mungkin dia akan melakukannya sendiri atau menyampaikan pada Angger ketika dia tidak sempat.

Galih menoleh. Entah mengapa Ibu tirinya itu suka sekali berdiri di depan pintu dan menatapnya dengan tatapan aneh. Dan telinganya yang tajam mendengar bunyi sebuah pulpen ditekan berulang kali dengan nada bervariasi.

"Pulpen, Mas."

Begitu kata perawat.

"Tidak bahaya, Sus?"

"Tidak, Mas. Jangan khawatir. Bu Karima sangat stabil, Mas."

"Baik, Sus. Saya permisi."

Ibu tirinya itu sudah tidak ada di depan pintu ketika Galih kembali menoleh. Galih berpamitan sekali lagi pada perawat jaga dan meninggalkan lantai itu. Galih keluar dari rumah sakit dan melajukan mobilnya menuju rumah. Sepanjang perjalanan terngiang kembali suara pulpen yang ditekan oleh Ibu tirinya. Suara sayup itu nyaring dan terasa tidak asing. Di masa lalu, dia pernah mendengar tanda itu.

*

Sudah sebulan lebih.

Kesabaran dibangun berulang kali. Menipis berulang kali pula. Walaupun tidak sepenuhnya runtuh, kesabaran itu entah sudah berapa kali menjadi goyah.

Jalan ruqyah sangat berliku. Emosi naik dan turun seiring proses hukum yang berjalan terkait Tuan Alamsyah dan istrinya. Tidak ada pelaporan tertulis oleh Larasati Alamsyah selaku korban. Kasus itu dengan cepat menguap terganti dengan kasus lain yang lebih booming.

Angger menolak dengan tegas keinginan Ibunya untuk bisa merawat Laras setelah wanita itu keluar dari rumah sakit. Walaupun terlihat keji, Angger ingin menjauhkan keluarganya dari keluarga Alamsyah dan tidak menjalin hubungan dalam bentuk apapun.

Pada akhirnya, kembali berjalan di rel semula. Menetap di pondok menjadi satu satunya pilihan untuk Pak Sutrisno dan Bu Diah. Menjalani rutinitas seperti biasa dengan tambahan jadwal ke pondok pesantren Krapyak di daerah Sewon Bantul yang untungnya tidak terlalu jauh.

Pagi yang biasa. Setelah Angger mengantarkan Gemintang ke klinik untuk jadwal pagi. Bale-bale di dekat pendopo kembali menjadi saksi bisu dua kakak beradik yang memiliki pola pikir yang berbeda. Kembali lagi, semua adalah tentang siapa lahir lebih dulu dan kematangan pikir.

"Hidup itu kan kuncinya sabar. Apalagi buat aku yang udah tumeg bikin onar di masa lalu, Ngger. Kamu ga bisa maksain sebuah proses. Tidak semudah seperti..." Galih membalik telapak tangannya. "...proses membersihkan Ibumu itu seperti proses makan. Sepele tapi lama. Ngerti maksudku...dari memasukkan makanan ke mulut, mengunyah..."

"Ngerti, Mas." Angger memotong kata-kata Mas nya cepat. Dia tahu Mas nya tidak akan segan memberinya contoh senonoh mengenai proses pencernaan hingga makanan berakhir di WC.

"Nah itu. Makanya. Gemintang anteng kamu yang ringut ga karuan."

"Kasihan dia Mas."

"Ngerti aku. Tapi ya mau bagaimana lagi."

Angger menatap Mas nya yang menyeruput kopi paginya. Pria itu lalu mengunyah sepotong kue dengan pelan.

DARI BALIK KELAMBUМесто, где живут истории. Откройте их для себя