Hari Ketiga Puluh Tanpamu: Bertemu Denganmu Meskipun di Dalam Mimpi

1.8K 71 2
                                    

Pukul 05.30 aku sudah meluncur menuju Salatiga. Jalanan masih gelap. Didukung suasana hujan yang belum berhenti sejak semalam. Semua terasa kelabu. Namun, tidak dengan hatiku. Senyum cerah menghiasi bibirku yang polos tanpa pemerah bibir. Semenjak ke mana-mana memakai masker aku sering lupa untuk berdandan secara benar.

Pagi ini rasanya ada kelegaan luar biasa yang melingkupi hatiku. Semalam aku bermimpi bertemu suamiku. Setelah tiga puluh hari kehilangannya akhirnya aku bisa merasakan sosoknya datang padaku. Meskipun tidak melihat wajahnya, sudah cukup merasa bahagia.

Semalam ketika sedang tidur aku merasakan ada seseorang yang kuyakini adalah suamiku memelukku dari belakang. Erat sekali. Kemudian dia mencium belakang kepalaku. Aku diamkan saja. Dalam pikiranku saat itu adalah hal biasa karena suamiku sering melakukannya padaku. Ada perasaan damai waktu itu. Perasaan disayang dan dicintai. Namun, semakin lama pelukan itu semakin kencang dan aku merasa mulai sesak napas sehingga aku pun terbangun.

Setelah terbangun mimpiku hilang. Sosok yang tadi memelukku juga hilang. Aku terdiam dan terpaku. Lampu kamar masih menyala. Jam dinding menunjukkan pukul 01.15. Sudah berganti hari. Aku melihat sekeliling kamarku yang bercat putih. Kulihat foto suamiku di dinding kamar.

"Ayah, kah tadi yang datang? Kenapa pergi? Aku belum melihat wajah Ayah," kataku pada diri sendiri.

Air mataku luruh tidak tertahankan. Aku menyesal kenapa harus terbangun. Aku melihat secarik kertas di atas bantal di sebelahku. Kertas berbentuk hati dari kertas kado berwarna ungu. Di sebaliknya ada coretan kata. Kertas itu sering menemaniku tidur. Hanya kubaca-baca sebagai pengantar tidur.

Coretan kata itu dibuat oleh suamiku sebagai hadiah ulang tahun. Satu bulan sebelum kami menikah. Dibuat dalam dua kurun waktu. Untaian kata di sebelah kiri bentuk hati ditulis pada tanggal 6 September 1998 dan sebelah kanannya ditulis pada tanggal 7 September 1998.

Kalau dilihat tanggal tersebut, kertas itu sudah berumur lebih dari dua puluh dua tahun.

Itu adalah untaian kata terakhir yang dibuat suamiku. Sebelumnya dia sering sekali mengirim coretan-coretan puisi untukku. Karena terlalu sering, akhirnya tidak ada yang kusimpan. Hanya itu satu-satunya coretan kata ukirannya yang aku simpan sampai sekarang.

Setelah menikah beberapa kali aku perlihatkan kertas itu pada suamiku dan dia hanya tertawa.

"Lebai banget sih, Yah. Dulu, kok, sering banget bikin puisi-puisi begini. Coba baca nih. Norak banget, kan," kataku padanya setengah mengejek.

Aku perlihatkan kertas tersebut. Diambilnya dan dibaca. Dia tertawa terbahak-bahak. Anakku yang melihat ayahnya tertawa terbahak-bahak ikutan penasaran dan merebut kertas tersebut.

"Ya Allah, tahun 1998 kan Ayah sudah berumur dua puluh enam tahun. Kok masih kayak ABG begini, sih?" ejek Sefa waktu itu.

Mas Anif juga ikutan merebut kertas itu. Dia hanya tersenyum simpul sambil geleng-geleng kepala. Mungkin merasa ajaib melihat cara berpacaran bapak ibunya kala itu.

"Itu mesti Bunda yang kasih jampi-jampi ke Ayah, jadi Ayah bisa khilaf begitu," jawab suamiku membela diri.

Aku terbahak.

"Enak aja," sungutku.

"Ada puisi Ayah yang lain, Nda?" tanya Sefa.

"Nggak ada. Dulu banyak, tapi enggak Bunda simpan. Ini juga puisi Ayah terakhir buat Bunda. Setelah itu enggak pernah lagi Ayah buat puisi," jawabku, kemudian berpaling ke arah suami.

"Kenapa enggak pernah bikin puisi lagi untukku, Yah?" tanyaku pada suami.

"Nggak, lah, udah dapat orangnya ngapain bikin puisi lagi," jawabnya asal. Ngeselin banget ya jawabannya.

"Udah dibuang aja, to, Nda. Malu-maluin," katanya tiba-tiba sambil berusaha merebut kertas itu dari tanganku.

"Eh, jangan! Enak aja! Aku simpan sebagai bukti kalau ayah dulu lebai dan norak."

Aku terpingkal dan menjerit sambil berusaha melindungi kertas itu dari jangkauannya.

*****

Aku tersenyum mengingat semua kejadian itu. Coretan kata yang dulu kami anggap norak dan lebai ternyata sekarang menjadi kenang-kenangan berharga yang akan selalu kusimpan dengan baik dan sepenuh hati.

Mimpi semalam meskipun hanya sebentar dan membuatku sedih, tetapi mampu membuat hatiku menghangat. Semoga akan ada mimpi-mimpi berikutnya sekadar mengobati rasa ingin bertemu.

"Tiga puluh hari sudah berlalu, Yah. Aku ikhlas, kok. Aku yakin semalam Ayah hanya mau menyampaikan pesan bahwa aku harus hidup bahagia meskipun tidak ada Ayah di sampingku. Aku yakin Ayah tetap melihatku meskipun aku tidak bisa melihat Ayah. Love you, Yah," bisikku pelan pada diriku sendiri.

Mobil terus melaju membelah jalanan yang mulai ramai. Aku menatap ke depan dengan perasaan lega. Aku sudah bertemu suamiku meskipun hanya dalam mimpi. Terima kasih, Ayah.

*****

6 September 1998

21.30 WIB

Angin malam ini menyentuh mesra kalbuku
Untuk sedikit mengusik sisi-sisi romantisku
Mengajakku menelusuri renungan kisah kasih kita

Tatapan ke belakang mengingatkan aku
Ketika goresan tinta 'tautan hatiku'
Kupersembahkan untukmu

Rona rembulan penuh malam ini
Mengajak jemariku menari-nari
Goreskan kembali tinta sebagai duta kalbuku
Yang ternyata tak lekang oleh jarak dan waktu
Tentang makna 'tautan hatiku'

Air mata tangismu begitu dalam
Menggores mengoyak sukmaku
Ingin sekali aku mendekapmu, memelukmu
Lama ... dan lama sekali ...

Tak peduli terjangan badai
Yang coba menghadang
Ikatan yang kita bina sejak lama... lama sekali

7 September 1998, 05.30 WIB

Hari ini, sepagi ini kucoba dapatkan bunga
Sebagai duta kalbuku
Yang ingin kupersembahkan untukmu
Tak peduli itu hanya setangkai mawar

Di halaman rumahku
Cukup bagiku atas makna begitu besar,
Cinta dan ketulusanku
Untuk meminang hatimu

Karena hari ini
Kuucapkan selamat ulang tahun
Yang 'terakhir' sebelum dikau
Menjadi belahan jiwaku ... istriku ...
Ya ...
Hari ini bertambah lagi usiamu ...
Sang mahligai jiwaku ...

Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now