Hari Kesembilan Tanpamu : Bismillah, Memulai Hari Dengan Optimis

451 69 0
                                    

YYa Allah, penuhilah hati anak-anak kami dengan cahaya dan hikmah, dan jadikan mereka hamba-hamba-Mu yang pantas menerima nikmat. Perbaikilah diri mereka dan perbaiki pula umat ini melalui mereka. Aamiin, ya, mujibassailin.

Doa tersebut menjadi doa terakhir dalam rangkaian doa-doaku pada subuh yang indah ini. Aku melipat mukena dan sajadah serta menyimpannya di lemari kemudian bersiap-siap untuk pergi ke kantor di Salatiga.

Pukul 05.15 aku berangkat. Perlu waktu satu jam untuk sampai di sana. Anakku Sefa tampak tertidur di sebelahku. Dia belum mandi. Masih menggunakan sarung yang tadi dikenakannya untuk salat Subuh di masjid. Aku tersenyum. Kuusap kepalanya. Semoga kamu menjadi anak yang qurrota a'yun, Nak, doaku dalam hati.

Pukul 06.17 tiba di kantor, setelah itu aku melakukan presensi secara online. Presensi di kantorku menggunakan titik koordinat dan swa foto sehingga tidak bisa curang dengan menitip pada teman, juga hanya bisa dilakukan apabila kita berada di kantor.

Masih ada waktu setengah jam lebih untuk mengantarkan anakku istirahat di rumah dinas. Selama di Salatiga aku mendapat jatah tempat tinggal. Rumah yang sederhana, tetapi nyaman untuk dihuni. Letaknya di belakang kantor persis. Masih satu komplek.

Aku mengantar Sefa ke sana. Barang-barang yang kubawa dari Semarang pun aku turunkan. Setelah membuka pintu pagar, ada sebuah taman kecil di depan rumah. Dulu pertama kali tinggal di sini hanya ada rerumputan dan dua pohon mangga. Setelah aku tinggali, suamiku mulai menanam apa pun yang bisa dia tanam. Dasarnya memang suamiku tidak bisa melihat lahan kosong sehingga jiwa berkebunnya langsung muncul. Katanya untuk kegiatanku sore hari menyiram tanaman-tanaman tersebut.

Alhamdulillah, berkat tangan dinginnya taman kecil itu mulai indah. Ada mawar, bougenville, beberapa jenis calathea, begonia, sansivera, kuping gajah, bunga kertas, lidah buaya, dan beberapa tanaman hias yang aku tidak tahu namanya.

"Selamat pagi cantikku. Maaf, ya, aku tinggal selama satu minggu lebih," kataku menyapa tanaman-tanaman itu.

"Ah, untung kalian tetap segar, ya, meskipun tidak disiram lama."

Aku pun mengecek kondisi tanah di beberapa pot. Agak kering memang, tapi tidak sampai kering sekali. Sefa protes karena aku bicara dengan tanaman. Aku pun tertawa.

"Biar mereka senang," jawabku seraya membuka pintu rumah.

Remaja itu hanya memutar bola matanya. Aku tertawa lagi melihat tingkahnya.

Ketika pintu terbuka, aku mengucap salamku untuk semua mahkluk Allah yang ada di rumah ini. Bukan makhluk halus yang kumaksud. Meskipun jika ada berarti salam tersebut juga untuk mereka. Namun, yang kumaksud di sini adalah mahkluk lain seperti semut, nyamuk, dan cecak-cecak di dinding atau bahkan Malaikat.

Sefa menjawab salam dari belakang punggungku mengikuti masuk ke rumah.

Aku melihat sekeliling ruang tamu. Masih seperti biasa. Ada satu set meja kursi tamu dengan lukisan di dinding sebelah kiri dan kanan. Aku melangkah lagi menuju ruang keluarga dan ruang makan yang menjadi satu tanpa sekat. Meja makan bersebelahan dengan satu set sofa untuk melihat televisi di ruang keluarga.

Di rumah ini ada empat kamar tidur. Tiga kamar tidur mempunyai pintu yang berhubungan dengan ruang keluarga. Satu kamar lagi yang paling besar letaknya bersebelahan dengan ruang tamu. Dapurnya cukup luas dengan jendela menghadap ke halaman belakang. Aku merasakan aura Fatih masih ada di sini karena memang sehari-hari hanya kami berdua yang tinggal di rumah dinas ini.

Aku membereskan semua bawaan dari Semarang, menaruh makanan di piring dan meletakkannya di meja makan. Aku juga membawa sayuran segar dan menaruhnya di kulkas. Rumah masih rapi. Meskipun ditinggal selama satu minggu, setiap hari office boy dari kantor membersihkannya.

Kubuka pintu belakang. Tampak kebun kecil yang penuh dengan bermacam-macam tanaman. Cabai dan tomat sudah mulai berbuah. Pohon pepaya juga tumbuh subur. Kira-kira enam bulan lagi sudah bisa panen. Ada juga bayam, kangkung, dan sawi yang sudah beberapa kali panen. Semua tumbuh subur karena dipelihara dengan baik oleh suamiku. Tanaman tersebut ditanam sendiri olehnya. Begitu sukanya dia berkebun. Terima kasih, Yah, sudah memberiku banyak kenangan yang masih akan terus memberikan hasilnya untukku.

Aku merasakan rengkuhan lembut dari belakangku. Sefa memelukku erat. Dia mencium puncak kepalaku. Mataku sudah berkaca-kaca.

"Menangislah, Nda," ucapnya pelan sambil mengusap-usap lenganku.

Kami diam sesaat. Aku menarik napas panjang dan berusaha tersenyum.

"Jangan, ah. Udah capek Bunda nangis terus," jawabku sambil mengusap kasar air mata yang hampir turun. Aku tersenyum palsu pada anakku.

"Bunda enggak apa-apa. Hanya sedih dikiiit," seruku sambil menyodorkan ujung kelingking.

"Mosoook?" godanya.

Aku tertawa, kemudian mengacak-acak rambutnya.

"Adek sendirian di rumah ya, Bunda ke kantor dulu. Nanti kalau mau sarapan sudah Bunda siapkan di meja makan," kataku.

Tadi pagi ketika masih di Semarang aku sempat memasak masakan sederhana. Hanya membuat sayur sop dan ayam goreng. Sebagian untuk sulung di rumah Semarang, sisanya kubawa ke Salatiga untuk sarapanku dan si bungsu.

Sefa langsung mengepalkan tangannya tanda semangat kemudian, mengangkat tangannya naik ke kepala dan membentuk love. Aku tertawa menanggapi tingkahnya, lalu merengkuh kepalanya yang jauh lebih tinggi dariku. Menarik kepalanya agar menunduk dan mencium pipinya.

"Bau ih! Mandi dulu sana!" tukasku

"Nggak, ah. Mau tidur lagi. Mandinya nanti siang aja."

Aku hanya tertawa. Suka-suka kamulah, Dek. Aku pun ke luar rumah. Berusaha tetap tegar menuju tempat kerjaku. Bismillah.

#Senin, 14 Desember 2020


Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now