Hari Keenam Belas Tanpamu: Makanan Legend

204 37 0
                                    

Aku mempunyai kebiasaan memasak setelah pulang dari kantor karena waktunya lebih longgar dan tidak diburu-buru berangkat kerja. Sebelum pulang, aku mampir belanja sayuran di depan pabrik rokok dekat kantor. Setiap jam pulang pabrik banyak orang jualan di sana. Aku membeli terung, kelapa yang sudah diparut, sayur sop, tempe, tahu, dan beberapa bumbu yang aku rasa sudah habis di rumah. Aku mengira-ngira saja karena lupa mengecek isi kulkas.

Sampai di rumah setelah bersih-bersih, aku langsung menuju dapur untuk mengeksekusi sayuran yang baru dibeli tadi. Sore ini aku ingin memasak pecak terung pedas dan tempe goreng. Untuk Sefa, aku membuat sup bakso.

Pecak terung ini makanan khas dan sangat legend di keluarga suami. Aku diajari suami cara memasaknya. Dulu dia selalu memasaknya sendiri. Terungnya terlebih dahulu dipanggang. Kata suamiku, dulu ketika kecil terung tersebut tidak dipanggang, tetapi dimasukkan ke bara api. Namun, sekarang gimana caranya membuat bara api itu? Jadilah dimodifikasi dengan memanggangnya di atas kompor.

Masih kuingat setiap suamiku membuat pecak terung selalu diiringi kisah yang aku sudah sangat hafal isinya. Dia bercerita masa kecilnya di desa. Suamiku ketika masih kecil tidak tinggal dengan orang tuanya, tetapi diasuh oleh kakek neneknya yang biasa dia panggil Mbahko dan Mbahyi di sebuah desa di Kabupaten Demak. Masakan pecak terung Mbahyi paling juara katanya. Suamiku bertugas untuk memanggang terung dalam bara api di tungku. Zaman dahulu memasaknya masih memakai kayu bakar. Setelah kayu bakar menjadi bara api, terung diletakkan di atasnya. Setelah matang, kulitnya dikelupas. Mbahyi sudah siap dengan sambel bawang dan kelapa parut sebagai campuran terung yang telah dibakar tadi. Menu tersebut adalah makanan favorit dan penuh kenangan bagi suamiku.

Dulu ketika berkunjung ke rumah Bapak Mertua di Kudus, aku juga pernah dibuatkan pecak terung oleh Bapak. Sambalnya beliau buat sendiri. Rasanya lebih enak daripada yang dibuat oleh suamiku.

Mungkin memang pecak terung ini makanan khas orang-orang daerah pantai utara Jawa Tengah karena keluarga besarku di Cilacap tidak pernah memasak seperti itu. Terung hanya kami masak untuk lodeh. Tidak pernah dibuat balado, lalapan, apalagi dibuat pecak terung.

Setelah pecak terung, sup bakso, dan gorengan tempe tersaji, segera kuhidangkan di atas meja makan. Anakku yang baru selesai mandi langsung memandangi dan mengendus-endus aroma tempe goreng yang sedap.

"Hmm, jadi lapar, Nda." Dia mencomot satu tempe goreng dan langsung menggigitnya. "Tempenya enak banget," lanjutnya.

"Jelas, dong! Siapa dulu yang masak," kataku sombong sambil mengangkat daguku. Dia hanya tertawa.

"Itu apa, Nda? Pecak terung, ya?" tanya anakku sambil menunjuk pecak terung yang aku taruh di cobek batu.

"Iya Dek. Makanan kesukaan Ayah," jawabku.

"Emang Bunda suka juga?" tanyanya.

"Sukalah. Enak, kok," jawabku

"Aku nanti makan sup sama tempe saja, lo, Nda. Jangan paksa aku makan pecak terung itu. Aku enggak suka. Pedas lagi," katanya. Aku tertawa.

"Enggak, lah. Mana pernah Bunda memaksa Adek makan sesuatu yang tidak disukai," jawabku geli sambil mengacak-acak rambutnya yang masih basah.

"Biasanya, kan, Bunda selalu menyuruhku menghabiskan semua makanan yang Bunda masak. Jadi aku beritahu Bunda dulu sebelum nyuruh aku menghabiskan semua makanan," jelasnya.

"Iya iya, enggak akan maksa, deh. Itu juga nanti habis sama Bunda," kataku meyakinkan agar dia tidak perlu khawatir.

"Yuk, salat Magrib dulu. Nanti setelah salat dan tadarus baru kita makan," ajakku setelah kudengar suara azan dari masjid dekat rumah.

"Oke," jawab Sefa sambil mencomot satu buah tempe lagi.

Suara azan menggema dari masjid di sekitar rumah dinas. Termasuk di televisi yang memang selalu menyala. Aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Siang akan berganti malam. Hari ini akan terlewati lagi tanpamu, Ayah. Satu hari lagi berlalu begitu saja tanpamu. Seandainya hati ini mengizinkan aku untuk selalu menangis apabila mengingatmu, sudah pasti aku akan menangis setiap hari karena tidak pernah sedetik pun aku tidak mengenangmu. Semua orang lambat laun akan melupakanmu, tetapi kami tidak. Kami akan selalu membawa kenangan tentangmu di setiap denyut nadi kami. Love you.

#Senin, 21 Desember 2020

Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now