Hari Kesebelas Tanpamu : Pagi Yang Cerah

386 55 0
                                    

Jam menunjukkan pukul 05.05 WIB. Masih terlalu pagi untuk pergi jalan-jalan. Di luar juga masih gelap. Namun, aku tetap ke luar rumah. Udara dingin langsung menerpa wajahku. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan dan menempelkannya ke pipi. Lumayan memberikan efek hangat. Sambil menunggu anakku keluar, kau mencoba untuk sekadar menggerak-gerakkan badan agar tidak kaku. Tarik napas ... buang napas. Tarik napas ... buang napas. Beberapa kali kulakukan metode olah pernapasan tersebut.

"Ayo Dek, cepat! Keburu siang, lo!" teriakku dari luar.

Tidak berapa lama Sefa keluar.

"Nyari jaket ini lo, Nda. Ternyata di kapstok di balik pintu kamar Bunda," katanya sambil mengunci pintu.

"Iih! Dingin banget." Anakku langsung merapatkan jaketnya.

Kami pun ke luar halaman dan menuruni jalan menuju kebun. Matahari masih malu-malu mengintip di sela-sela pohon randu yang berjajar di sepanjang jalan menuju kebun yang kami tuju. Menelusuri jalanan sepi yang melintasi kebun kopi dan kakao di sebelah kiri dan kanan. Kebun ini cukup luas kurang lebih lima hektar dan masih satu komplek dengan kantor dan rumah dinas.

"Biasanya Bunda jalan-jalan sama Ayah, ya?" tanya Dek Sefa sambil memeluk dirinya sendiri. Udara memang dingin sekali kalau pagi. Bagi anak yang biasa tinggal di Semarang, udara di Salatiga memang terasa sangat dingin.

Aku mengangguk. Biasanya pada pagi hari, bersama Fatih, aku menikmati pemandangan kebun kopi dan kakao sambil bercerita apa saja. Kebanyakan adalah cerita tentang impiannya mempunyai kebun luas yang bisa ditanami berbagai macam bunga dan buah serta ada kolam ikan. Di dalam impiannya tersebut selalu disertakan impianku juga untuk memiliki rumah putih dengan halaman yang cukup luas.

"Selama aku sehat dan ada umur, aku akan berusaha mewujudkan keinginan Bunda memiliki rumah berwarna putih dengan kamar yang mempunya jendela besar. Apabila jendela tersebut dibuka, langsung terlihat kebun mawar beraneka warna," katanya.

Impianku merupakan obsesi masa kecil karena terinspirasi oleh dongeng putri-putrian ala H.C. Andersen yang sering kubaca dulu. Sepertinya agak sulit terwujud dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja seperti kami. Memiliki rumah sederhana dengan luas tanah 90m2 di Kota Semarang sudah sangat kami syukuri. Namun, sekadar bermimpi boleh 'kan?

"Itu tanaman apa, Nda?" tanya Sefa tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

"Itu tanaman kopi, Dek," jawabku. Melihat arah jemarinya yang menunjuk ke sebuah kebun kopi.

Buah-buah kecil itu sudah mulai berwarna merah. Tandanya sudah siap panen. Kopi di kebun ini adalah jenis robusta.

"Oh, aslinya seperti itu ya, Nda?" tanyanya heran.

Oalah, Le, kasian kamu, ya, buah kopi saja baru tahu. Nasib jadi anak kota. Aku tersenyum.

"Buahnya itu merah-merah 'kan, itu sudah siap panen. Setelah itu akan mengalami proses sortasi dan penjemuran. Kalau sudah kering, baru digiling," jelasku.

Sebetulnya ada beberapa teknik pascapanen kopi. Ada proses basah, kering, dan honey. Namun, paling sederhana adalah proses kering yang banyak dilakukan di tingkat petani.

"Adek sudah pernah lihat tanaman kakao? Itu tanamannya, Dek," kataku sambil menunjuk ke arah kanan jalan.

Anakku langsung mendekat ke tanaman kakao yang paling pinggir dan berseru kagum ketika melihat buahnya yang berwarna merah tumbuh lebat di batang-batang pohon.

"Ini sudah matang, Nda?" tanyanya sambil memegang buah kakao tersebut.

"Belum, Dek. Kalau buah kakao merah begitu, matangnya nanti berwarna jingga," jelasku.

Tiga Puluh Hari TanpamuWo Geschichten leben. Entdecke jetzt