PROLOG

4.5K 331 7
                                    

Seperti biasa setelah pulang salat Subuh di masjid, suamiku akan melanjutkan rutinitasnya dengan tadarus. Suara merdunya menghangatkan suasana pagi. Aku sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Anak sulungku biasanya akan kembali tidur setelah salat Subuh. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya semua terasa indah dan damai.

“Mau minum teh biasa atau teh daun kelor, Yah?” tanyaku dari dapur begitu suara alunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang disenandungkannya berhenti.

“Teh daun kelor, Nda. Pake madu dan jeruk nipis, ya,” jawabnya.

“Oya, Nda, enggak usah disiapin sarapan. Aku sarapan di luar bersama teman-teman kantor. Jam setengah enam aku berangkat dari rumah,” katanya lagi.

Aku menambahkan madu dan jeruk nipis pada teh yang hampir tersaji, kemudian membawanya ke ruang depan dan meletakkannya di meja yang ada di hadapan suamiku.

“Memangnya acara touring-nya jam berapa?” tanyaku seraya duduk di hadapannya.

“Dari kantor jam enam. Start dari kantor, kemudian menuju Bandungan. Lalu balik ke Semarang,” jelasnya sambil menyesap segelas teh yang kuhidangkan.

“Paling nanti hanya berhenti untuk sarapan. Acaranya juga enggak lama, kok, karena jam sebelas ada meeting di kantor. Jadi sebelum jam sebelas sudah harus sampai kantor lagi,” imbuhnya.

Diletakkan gelas teh yang hanya berkurang satu sentimeter.

Lalu dia beranjak menuju kamar mandi. Aku ikut menyeruput teh yang tersisa, sementara melakukan persiapan. Sesekali kubuka ponsel untuk melihat pesan yang masuk.

Tidak berapa lama suamiku keluar dari kamar dengan pakaian lengkap untuk touring. Celana jeans hitam, kaos oblong warna abu-abu, dan jaket kulit warna cokelat tua.

Dia duduk lagi di hadapanku, meneruskan minum teh yang telah hilang asapnya. Ada sekaleng biskuit di meja, tetapi tidak disentuhnya. Tepat pukul 05.30 dia berpamitan untuk berangkat.

“Kok, enggak bawa tas, Yah? Dompet?” tanyaku ketika melihat dia dalam kondisi melenggang.

“Enggak, ah! Males. Tapi KTP, SIM, hp, dan uang ada di saku jaket,” jawabnya sambil menepuk-nepuk dada sebelah kiri.

“Oh, gitu. Ya, udah. Hati-hati, ya,” pesanku, kemudian mangambil tangannya dan menciumnya.

Kami keluar rumah beriringan. Dia mengambil sepatu kets merahnya dari rak yang berada di teras rumah, kemudian mengenakannya. Setelah itu menghampiri sepeda motor kesayangannya. Sebelum menaiki motor, ia melihat-lihat dulu sambil mengelus-elus CBR 250 cc warna merah dengan tangannya. Semua kuamati dalam diam.

Aku membuka pintu gerbang, tetapi dia belum juga mengeluarkan motornya.

“Tolong aku difoto dulu, Nda. Pake ponsel Bunda aja, ya,” pintanya tiba-tiba

Aku langsung mengambil ponsel dari saku daster dan memotretnya dalam berbagai gaya bersama motor gede itu. Sesekali aku juga mengubah sudut pengambilan gambar, kemudian kuperlihatkan hasilnya. Dia pun tampak tersenyum puas.

“Nanti dikirim lewat WhatsApp, ya, Nda,” pintanya. Aku mengangguk.

Dia memundurkan motornya keluar dari carport dan menyalakan mesin. Sambil menunggu mesin memanas sebentar, dia sempat menatapku. Lalu melaju perlahan sambil mengucap salam.

“Hati-hati, Ayah.” Aku menjawab lirih. Dia sudah tidak mendengarnya. Kupandangi punggungnya yang berlalu hingga menghilang di ujung jalan.

Itulah kali terakhir aku melihatnya. Lelaki yang menemaniku selama 22 tahun 1 bulan 24 hari dalam suka dan duka. Lelaki yang menorehkan cerita panjang dalam kehidupanku. Imam yang selalu menjaga dan mengingatkanku untuk tidak pernah lalai dalam menjalankan ibadah. Dia pergi dan tidak akan pernah kembali.

Tiga Puluh Hari TanpamuKde žijí příběhy. Začni objevovat