Hari Kedelapan Belas Tanpamu: Pesan Sederhana

180 32 0
                                    

Hari ini berlalu begitu saja. Tidak ada sesuatu yang istimewa untuk dikenang. Pekerjaan di kantor juga berjalan lancar seperti biasa. Enaknya kalau rumah dekat kantor ya begini. Begitu jam kantor usai, tidak ada lima menit aku sudah bisa berbaring di kasur yang hangat.

Rumah dinas yang kutempati memang sangat nyaman. Meskipun sederhana, letaknya di area kantor dan dikelilingi kebun kopi, kakao, lada, vanili, dan lain sebagainya sehingga suasana tenang, damai, dan nyaman. Selain itu lokasinya juga di kaki Gunung Merbabu sehingga udara sangat sejuk. Apalagi kalau pagi dingin sekali. Sangat cocok untukku yang memang sangat membutuhkan ketenangan.

Aku pandangi langit-langit kamar. Rasanya kosong. Tiba-tiba aku dengar suara titik-titik air hujan menyentuh tanah di halaman depan. Tak terasa sudah memasuki musim penghujan. Hampir setiap sore di Salatiga turun hujan. Aku pejamkan mata. Mencoba mencium aroma petrikor yang menenangkan. Namun, tidak kutemukan.

Ah, manalah akan kutemukan aroma tersebut. Aroma petrikor hanya tercium ketika air hujan jatuh di tanah kering, sedangkan sekarang hampir setiap sore tanah menjadi basah. Aroma tersebut sebetulnya berasal dari minyak yang dihasilkan oleh tanaman tertentu pada musim panas dan diserap oleh tanah kering. Minyak tersebut akan dilepas ke udara ketika air hujan jatuh ke tanah kering tersebut sehingga tanah yang sudah mulai lembap tidak mengeluarkan lagi aroma petrikor.

Aku membuka mata lagi. Suasana sepi sekali. Sefa sedang tidur di kamar sebelah. Air hujan mulai deras. Tiba-tiba aku merindukannya. Semoga Dia tidak kedinginan di sana. Tentu saja tidak. Begitu otak normalku menjawab. Yang di dalam tanah adalah jasadnya yang sudah tidak bisa merasakan apa-apa, sedangkan arwahnya sudah berada di alam barzakh.

Ada sebuah cerita mengapa suamiku tidak dimakamkan di dekat rumah saja di Semarang. Bahkan perumahan kami mempunyai makam khusus bagi penghuninya. Aku masih ingat waktu itu ada tetangga yang baru saja meninggal dan dimakamkan di pemakaman tersebut. Setelah pulang dari makam terjadilah percakapan ringan dengan suamiku.

"Nanti kalau kita meninggal dimakamkan di situ juga, Yah?" tanyaku waktu itu.

"Enggak, Nda. Nanti kalau aku meninggal aku dimakamkan di Guntur saja," jawabnya.

Guntur adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Demak. Kurang lebih satu setengah jam dari Semarang. Di Guntur inilah suamiku menghabiskan masa kecilnya. Diasuh oleh neneknya. Di sana terdapat makam keluarga tempat Kakek, Nenek, Ibu Mertua dan saudara-saudara yang sudah meninggal dimakamkan.

"Lo, mosok aku nanti dimakamkan di Guntur juga, Yah? Nanti aku jauh dari keluarga besarku, dong?" tanyaku.

"Mending di Semarang saja, tempat yang netral. Anak-anak juga akan lebih mudah berziarah," lanjutku.

Demi apa dulu aku sudah membahas hal seperti ini dengan suamiku. Keluarga besarku yang asli Cilacap tentu akan berpikir dua kali seandainya suatu saat aku meninggal dimakamkan di Guntur, Demak yang bukan kampung halaman kami. Bukankah lebih baik di Semarang sesuai domisili sekarang? Jadi netral.

"Lo, nanti Bunda kalau meninggal dimakamkan di Cilacap saja," jelasnya yang membuatku kaget.

"Berarti kita berpisah, Yah? Kok gitu, sih!" protesku tidak terima.

Di mana-mana pasangan dimakamkan bersebelahan. Malah banyak yang jadi satu lubang. Ini kok malah ingin terpisah?

"Karena domisili kita di Semarang, anak-anak sudah sangat nyaman di Semarang. Kalau nanti kita meninggal, aku dimakamkan di Demak dan Bunda dimakamkan di Cilacap sudah pasti anak-anak akan selalu terikat pada kota tersebut, Nda. Kalau kita dimakamkan di Semarang aku pastikan anak-anak. tidak akan pernah datang ke Cilacap, Demak ataupun Kudus," jelasnya panjang lebar.

Keluarga besar dari ayah mertua memang kebanyakan berdomisili di Kudus. Demak-Kudus itu dua kota yang berdekatan.

Akhirnya aku berpikir, betul juga yang dipikirkan suamiku. Kalau suatu saat kami meninggal dan dimakamkan di Semarang sudah pasti anak-anakku tidak akan menginjakkan kakinya ke tiga kota bersejarah tersebut.

Hujan makin deras. Aku berguling ke samping kanan. Aku merinding sendiri mengingat percakapan kami waktu itu. Mengapa dulu kami sudah membahas masalah mau dimakamkan di mana? Waktu itu tidak tahu kalau usia suami sudah tidak akan lama lagi. Namun, aku bersyukur karena percakapan itu aku anggap sebagai pesan sederhananya padaku sehingga begitu orang-orang menanyakan di mana suami akan dimakamkan aku menjawab tanpa keraguan. Guntur, Demak. Bersebelahan dengan ibu mertua.

#Rabu, 23 Desember 2020

Tiga Puluh Hari Tanpamuजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें