Hari Kedua Tanpamu : Tanda-tanda

1.8K 166 6
                                    

Kubuka lagi galeri foto yang ada di ponselku. Tidak bosan-bosannya aku melihat gambar terakhir suamiku bersama motor CBR 250cc kesayangannya. Tidak menyesal aku memenuhi permintaan terakhir suamiku untuk mengabadikan momen tersebut. Kenangan terakhir yang akan selalu kuingat. Wajahnya yang teduh tersenyum hangat dan tulus. Parasnya tetap tampan meskipun sudah banyak kerutan menghiasi sudut matanya. Ah, rupanya dia memang ingin memberikan kenangan indah agar wajah terakhirnya selalu terpatri dalam memoriku.

Aku teringat begitu dia berangkat pada hari Sabtu kelabu itu, aku langsung mengirim foto tersebut ke WhatsApp grup keluarga sesuai permintaannya. Selain itu, aku juga mengunggah foto tersebut di akun media sosialku, Facebook dan Instagram. Di bawah foto, kutulis kata-kata ‘hati-hati Ayah’ dan emotikon hati berwarna ungu. Sungguh tidak ada maksud apa-apa.

Namun, setelah kejadian kecelakaan banyak teman yang mengatakan bahwa mereka heran mengapa postingan di pagi itu aku menggunakan emoticon hati warna ungu? Beberapa orang mengatakan bahwa hati warna ungu melambangkan kesedihan. Ya Allah, apakah itu juga merupakan tanda-tanda kepergian suami untuk selamanya? Entahlah.

Aku teringat dua hari yang lalu pukul 12.00, aku menerima kabar yang meluluhlantakkan persendianku. Kecelakaan tunggal dalam sebuah touring resmi yang diadakan oleh kantor suami merupakan cara Allah mengambilnya dariku.

Dia pergi selamanya bersama motor kesayangannya. Entahlah, sejak pertama dia membelinya, aku tidak suka motor tersebut. Kupikir, untuk apa motor 250 cc di kota yang lumayan padat? Mau ngebut juga susah karena jalanan ramai. Tidak ngebut jelas kurang nyaman karena motor tersebut memang didesain untuk kecepatan tinggi. Menurutku tidak guna sama sekali.

Namun, itulah hobi. Dia beralasan, motor itu untuk bekal kuliah anak bungsu kami karena dulu kakaknya juga dibelikan CBR meskipun hanya 150 cc. Waktu itu, anakku yang bungsu masih kelas IX. Masih tiga tahun lagi untuk masuk jenjang perguruan tinggi. Ah, dasar memang si Ayah, padahal dia sendiri yang menginginkannya.

Pada akhirnya motor tersebut yang menjadi perantara untuk dia meninggalkanku selamanya. Apabila Allah sudah berkehendak, aku yang hanya manusia biasa bisa apa? Tidak ada yang harus aku sesali dari kejadian itu. Semua sudah takdir.

Mungkin ini seperti akhir penantian yang sudah dirasakan olehnya. Percaya atau tidak kata-kata kematian sudah sering kali dia ucapkan semenjak kami pulang melaksanakan ibadah haji dua tahun yang lalu. Entah apa yang dialaminya di tanah suci hingga sepulang dari sana sepertinya dia sudah tahu kalau usianya tidak akan lama.

Aku pun sebenarnya sudah menduga saat ini akan terjadi. Suatu saat perkataannya akan menjadi kenyataan. Aku punya sudut pandang sendiri mengenai hal ini. Bahwa kematian itu adalah rahasia Allah, tetapi yang akan mengalami sudah dapat merasakannya sehingga dia membuat banyak tanda-tanda yang baru kita sadari ketika orang tersebut sudah tidak ada.
Intensitas kebersamaan kami, aku rasakan mencapai suasana terbaiknya dua tahun belakangan. Mungkin juga karena anak sulungku sudah kuliah di luar kota dan anak bungsuku masuk pondok untuk tingkat SMA sehingga rasa kesepian kami berdua berubah menjadi rasa saling memiliki dan membutuhkan satu sama lain.

Mungkin memang demikian siklus hidup manusia. Awalnya kita hidup sendiri kemudian menemukan jodoh. Setelah menemukan jodoh ke mana-mana selalu berdua. Ketika mempunyai anak, kita menjadi bertiga, berempat, atau berlima layaknya sebuah keluarga sempurna.
Waktu berjalan, anak-anak meninggalkan kita dan kembali berdua. Jodoh pun meninggalkan kita dan akhirnya sendiri lagi. Seperti kurva setengah lingkaran. Seperti halnya matahari terbit di sebelah timur, kemudian siang dan akhirnya tenggelam di ufuk barat.

Aku semakin larut dengan kilasan peristiwa yang setelah aku pikirkan kembali merupakan tanda bahwa dia mempersiapkan aku agar bisa tegar mengalami hari ini.

“Ayah, lihat kakek nenek itu, rukun sekali. Mesranya. Tadi masuk ke sini jalan bergandengan. Kemudian si kakek menarik kursi untuk si nenek sebelum dia duduk di kursinya sendiri,” kataku suatu ketika saat melihat seorang kakek nenek makan di resto yang sama dengan kami.

“Semoga kita nanti kalo sudah tua juga begitu ya, Yah.”

“Sepertinya aku tidak akan pernah sampai setua itu, Nda,” jawab suamiku santai yang langsung aku hadiahi pelototan mata. Dia hanya tertawa.

Pada kesempatan yang lain dia juga selalu mengingatkanku untuk lebih meningkatkan kualitas ibadahku. Salatnya lebih khusyuk, tadarusnya diperbanyak. Jangan lebih banyak membaca novel dibandingkan tadarus. Perbanyak membaca buku-buku agama yang bisa meningkatkan keimanan.

Dia juga selalu mengingatkanku untuk tidak pernah lepas mendoakan anak-anak, padahal tanpa diminta pun aku tidak pernah lupa melakukannya.

“Keberhasilan seorang anak itu adalah berkat doa Ibu. Doa ibu, Nda. Doa ibu. Jadi jangan pernah lupa mendoakan mereka di setiap salatmu. Ingat itu ya, Nda.”

Pada lain kesempatan kadang secara acak, dia juga mengatakan hal aneh lainnya.

“Nda, kalo Bunda dapat promosi jabatan di kantor, aku resign, ya. Aku ingin konsentrasi ibadah. Aku ingin setiap salat wajib bisa berjamaah di masjid. Aku ingin setelah salat wajib bisa mengaji meskipun hanya beberapa ayat. Pekerjaanku sekarang ini tidak memungkinkan aku melakukan hal tersebut. Aku ingin merintis usaha sendiri yang bisa membuatku fokus untuk ibadah,” katanya kira-kira setahun yang lalu.

“Kenapa harus nunggu aku promosi, Yah?” tanyaku balik tanpa menjawab permintaannya.

“Aku ingin punya usaha sendiri agar bisa ibadah dengan khusyuk, tapi aku harus yakin Bunda sudah bisa mandiri secara finansial, jaga-jaga apabila terjadi sesuatu pada usaha yang akan aku rintis,” jawabnya yang membuatku cukup terpana.

Menurutku, aku sudah cukup mandiri secara finansial meskipun tidak berlebihan. Promosi pun tidak lantas membuat penghasilanku otomatis naik secara drastis. Namun, bisa jadi suamiku punya kekhawatiran tentang finansial karena dia memang tidak pernah tahu berapa besar penghasilanku dan tidak pernah pula menanyakannya. Baginya, penghasilan istri adalah milik istri. Semua kebutuhan berusaha dia cukupi sesuai dengan kemampuannya.

Hal yang membuatku sedih adalah kecelakaan maut itu terjadi setelah empat bulan aku mendapatkan promosi jabatan di kantor. Sempat terpikirkan seandainya aku tidak promosi apakah dia masih ada di sisiku. Aku paling tidak suka dengan kata-kata 'seandainya' meskipun sering sekali aku mengandaikannya. Yang pasti akhirnya dia memang resign untuk selamanya. Bukan karena aku mendapatkan promosi jabatan, tetapi karena Allah memanggilnya. Allah lebih menyayanginya.

Ada lagi yang membuatku selalu menangis apabila mengingat salah satu nasihatnya yang selalu disampaikan kepada anak-anak secara berulang-ulang.

“Kalo sudah besar nanti kalian harus membahagiakan Bunda, ya. Bunda saja. Ayah enggak usah.”

Sekarang aku menyadari. Sesayang itu dia padaku. Dia hanya ingin memastikan bahwa aku harus tetap bahagia meskipun tidak ada di sisiku. Tugas untuk membahagiakanku dia serahkan pada anak-anak.

Ya ... sebetulnya tanda-tanda seperti itu sudah ada dan banyak. Beberapa saudara juga mengatakan padaku beberapa kali suamiku bercerita hal kematian pada mereka.

Aku menutup galeri foto di ponsel. Mengembuskan napas panjang. Melonggarkan dada yang terasa sesak terhimpit oleh rasa melankolis.
Kemudian ... kalimat itu kembali terlintas dalam benakku.

“Kalo sudah besar nanti kalian harus membahagiakan Bunda, ya. Bunda saja. Ayah enggak usah.”

#Senin, 7 Desember 2020

Tiga Puluh Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang