Hari Kedua Puluh Tujuh Tanpamu: Tahun Baru, Semangat Baru

211 27 1
                                    

Tahun baru, 1 Januari 2021. Aku bangun dari tidurku. Kudengar suara Ibu sedang mengaji. Kuambil ponsel yang tergeletetak di atas nakas di samping tempat tidur. Masih pukul dua pagi. Ya Allah, ibuku masih seperti dulu.

Ibuku punya kebiasaan tidur malam lebih awal dan bangun pagi-pagi sekali untuk salat Tahajud dan mengaji. Suaranya keras sekali. Sebetulnya aku senang mendengar suara mengaji ibuku. Namun, karena masih terlalu pagi aku takut mengganggu tidur tetangga sebelah rumah. Semoga saja kekhawatiranku tidak terjadi.

Aku tidak bisa tidur lagi, kemudian ke luar kamar. Menghampiri ibuku yang sedang mengaji di ruang tengah. Tiduran di sofa dekat ibuku. Beliau pun langsung menghentikan ngajinya.

"Sudah bangun? Ibu mengganggu tidurmu?" tanya Ibu.

"Enggak Bu. Teruslah mengaji. Rini tiduran di sini," jawabku.

Ibu melanjutkan mengaji. Aku mendengarkan sambil tiduran di sofa. Mataku menatap jajaran foto-foto yang terpasang di dinding ruang tengah. Di dinding tersebut Ibu memasang banyak foto anak-anaknya dalam ukuran 10R. Ada foto wisuda kami empat bersaudara. Juga foto pernikahan kami semua terpajang di sana. Ternyata hobiku memajang foto menurun dari Ibu.

Mataku terpaku pada pada foto pernikahanku dengan suamiku. Kami mengenakan pakaian adat Jawa berwarna hitam. Aku tersenyum bahagia, begitupun dia. Aku masih ingat sekali 22 tahun 2 bulan 20 hari yang lalu suamiku mengucapkan ijab kabul di sini. Di ruang ini.

"Saya terima nikah dan kawinnya Andarini Setyawati binti Witarjo dengan mas kawin Al-Qur'an dan seperangkat alat salat dibayar tunai."

Masih kuingat jelas suara tegas suamiku mengucapkan ijab kabul sambil memegang erat tangan kakakku yang bertindak sebagai wali nikah. Karena ayahku sudah meninggal, kakak laki-lakiku yang bertindak sebagai wali.

Suasana haru dan tangis terdengar di seluruh ruangan. Sebetulnya sebelum ijab Kabul, suasana memang sudah mengharukan. Dimulai ketika khotbah nikah yang dibacakan oleh ayah mertua yang begitu mengena di hati menyebabkan sebagian tamu yang mengetahui kisah hidup suamiku dari kecil menangis.

Sejak berusia satu tahun, ayah-ibunya sudah berpisah. Suamiku ikut dengan kakek-neneknya di desa. Kakek nenek dari ibu biasa dipanggil Mbahko dan Mbahyi Ayahnya tinggal di Kudus, sementara ibunya di Demak.

Dari kecil dia sudah jarang bertemu dengan orang tuanya. Apalagi dengan ayahnya. Bahkan ketika kecil yang dia tahu, orang tuanya adalah Mbahko dan Mbahyi

Menurut cerita yang aku dengar dari Mbahyi, suamiku dulu memanggil ibunya dengan sebutan 'Mbak' ikut-ikutan putra-putri Mbahyi karena ibunya adalah putri tertua dari Mbahyi. Suamiku mulai memanggil ibunya dengan sebutan 'Ibu' sejak dia sekolah dasar. Begitu pengakuannya padaku.

Dia mulai rutin bertemu dengan ayahnya ketika sudah sekolah kelas empat SD. Setiap hari raya Idul Fitri dia dijemput oleh adik ayahnya dan dibawa mengikuti pertemuan keluarga besar dari pihak ayahnya di Jepara.

Untungnya meskipun berasal dari keluarga yang tidak utuh, suamiku berhasil tumbuh dan berkembang normal seperti anak-anak lainnya. Dia tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Tidak ada sedikit pun bibit kenakalan maupun tindakan protes kepada ayah dan ibunya. Bahkan suamiku sangat menghormati kedua orang tuanya dan menyayangi keluarga baru mereka masing-masing.

Jadi ketika akad nikah itulah suamiku pertama kali melihat ayah dan ibu kandungnya berada dalam satu ruangan yang sama. Mungkin itulah yang menyebabkan banyak tamu undangan menitikkan air mata. Apalagi khotbah nikah dari ayah mertua memang sangat menyentuh hati.

Sementara itu, dari pihakku hampir semua saudara menangis karena teringat pada almarhum Ayah.

Ayahku meninggal ketika aku masih kuliah. Nasib ibuku hampir sama denganku. Ketika aku dan kakak-kakakku masih kuliah dan adikku masih SMA, ayahku meninggal dunia karena sakit. Begitu juga dengan suamiku. Ketika anak sulungku masih kuliah dan si bungsu masih SMA ayahnya meninggal karena kecelakaan. Waktu itu usia ibuku juga hampir sama dengan usiaku sekarang.

Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now