Hari Keempat Tanpamu : You'll Never Walk Alone

980 110 3
                                    

Tiga hari setelah kepergiannya, rumah beranjak sepi. Saudara-saudara jauh sudah kembali ke tempatnya masing-masing. Mereka mulai beraktivitas seperti biasa. Begitu pun seharusnya aku karena hidup harus tetap berjalan. Dunia tidak akan lantas berhenti berputar hanya karena dia pergi. Aku harus mulai menata kembali dari awal. Jika aku terpuruk bagaimana dengan anak-anakku nantinya? Sekarang tinggal aku satu-satunya tempat mereka bergantung. Aku harus kuat. Memang begitu seharusnya, bukan?

Langkah pertama untuk menghimpun seluruh kekuatanku yang telah berserakan ke mana-mana adalah membereskan rumah terlebih dahulu. Namun, sebelum keluar dari kamar untuk memulai beres-beres mataku terpaku pada dua bungkus kantong plastik hitam di sudut kamarku. Aku tahu apa yang ada di dalamnya karena kemarin aku menerimanya dari teman-teman suami yang ikut rombongan touring.

Ku ambil dan meletakannya di atas kasur.

Jangan menangis ... jangan menangis ... jangan menangis ... tidak boleh menangis, batinku menyugesti diri sebelum membukanya. Semakin aku menyugesti diriku semakin deras air mata yang mengalir. Ternyata antara keinginan, perasaan, dan otak tidak mampu berjalan beriringan. Aku hapus air mataku dengan kasar. Mataku menerawang jauh ke langit-langit kamar. Menarik napas panjang dan diam sejenak.

Setelah agak tenang aku mulai membuka satu kantong plastik besar berisi jaket kulit milik suamiku yang dipakai pada hari Sabtu kelabu itu. Kubuka lipatannya dan memeriksa setiap sudutnya. Masih utuh. Tidak ada yang sobek sedikit pun.

Kalau baju dan celana jeans yang dipakai kemarin diberikan teman-temannya dalam plastik yang terpisah karena ada bekas muntahannya sehingga harus segera dicuci. Jaket kulit tersebut hanya jaket sederhana dengan logo merk sepeda motor yang dijual kantornya. Aku mencium jaket itu dan menghirup dalam-dalam mencari jejak aroma tubuh suamiku yang mungkin tertinggal di sana.

Namun, tidak kutemukan aroma tersebut. Yang ada malah harum pewangi baju yang biasa disemprotkan ketika menyetrika. Baru kali ini aku merasa kesal dengan produk pewangi dan pelicin pakaian tersebut karena berhasil dengan sukses mengaburkan aroma asli dari tubuh seseorang yang kurindukan.

Setelah jaket itu kulipat dengan rapi, kuperiksa lagi isi dalam kantong plastik besar itu. Ada sepatu dengan warna merah bergambar Liver Bird dan tulisan L.F.C. (Liverpool Football Club) yang merupakan klub sepak bola kebanggannya sejak kecil. Secara kebetulan, aku juga menyukai klub sepak bola yang sama. Meskipun perempuan, sejak kecil aku sudah mengikuti berita-berita kompetisi sepak bola, baik liga domestik, maupun liga Eropa. Kecintaan kami pada klub bola tersebut ternyata menurun pada anak-anak. Jadilah kami sekeluarga adalah Kopites, sebutan untuk pendukung fanatik L.F.C.

Aku tersenyum. Apakah masih akan seramai dulu kalau nanti kami bertiga, aku, dan anak-anak menonton Liverpool tanpa kehadiran ketua regunya? Pasti rasanya akan sepi. Baiklah, buang jauh-jauh perasaan sentimentil ini. Aku dan anak-anak tetap akan gembira dan pasti tetap ramai apabila nanti menonton pertandingan Liverpool. Bukankah Liverpool mempunyai slogan dan lagu kebanggaan "You'll Never Walk Alone"? Rasanya tepat sekali lirik lagu tersebut untukku saat ini seperti suamiku yang sedang berbicara padaku.

Dalam kantong plastik besar itu, selain jaket dan sepatu juga ada korset kesehatan tulang belakang. Dia memang selalu mengenakannya jika akan pergi mengendarai motor agar penyakit HNP-nya tidak kambuh.

Lima tahun yang lalu suamiku menderita HNP (Hernia Nukleus Pulposus). Penyakit yang terjadi ketika bantalan ruas tulang belakang bergeser menekan saraf tulang belakang. Istilah yang akrab di masyarakat adalah 'saraf kejepit'. Saraf tulang belakang yang terjepit ini menimbulkan nyeri punggung bawah sampai ke kaki. Dulu penyakit tersebut membuat suami kesakitan kalau berdiri dan berjalan hingga harus beberapa kali masuk rumah sakit.

Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now