Hari Kelima Belas Tanpamu: Dinamika Kehidupan

239 43 0
                                    

Dua minggu rasanya baru kemarin. Ada temanku yang sudah ditinggal suaminya selama setahun juga masih belum bisa move on. Meskipun sulit, bukan berarti aku merusak pikiranku untuk bangkit. Tidak sama sekali. Aku juga berusaha untuk bangkit dan aku rasa itu berhasil. Namun, ada saat-saat hati kita ingin kembali bersamanya. Yang bisa kulakukan hanya mengenangnya melalui foto-foto lama.

Kali ini yang jadi sasaranku adalah album foto pernikahan. Ada tiga album besar dengan sampul cantik bergambar mawar merah muda. Namun, warnanya sudah memudar. Usianya sudah lebih dari dua puluh dua tahun. Sang pemeran utama cowok dalam album tersebut juga sudah tiada.

Waktu itu aku memakai pakaian pengantin adat Jawa. Aku belum memakai kerudung sehingga rambutku masih disanggul dengan hiasan roncean melati. Tidak lupa ada tujuh cunduk mentul yang dipasang di atas sanggul. Aku masih ingat waktu itu rasanya sanggulku berat sekali. Aku sempat mengeluh karena terasa berat membuat pusing kepala. Namun, periasku mengatakan kalau pengantin tidak boleh mengeluh berat karena akan menyebabkan kehidupan perkawinan yang dijalani menjadi berat. Aku tidak percaya dengan mitos tersebut, tetapi tetap mengikuti sarannya untuk menghormati.

Bagiku pernikahan itu seperti sebuah roller coaster. Adakalanya menanjak, adakalanya turun drastis. Seperti itu pula kehidupan pernikahanku. Sesekali Allah memberi kemudahan dan esoknya Allah memberi kesulitan. Kadang Allah menganugerahkan kesukaan, lalu memberi duka. Allah ingin melihat apakah ketika nikmat menghampiri atau duka menyapa, aku bisa tetap sabar dan bersyukur pada-Nya atau tidak.

Aku bisa membagi beberapa fase masa dalam kehidupan pernikahanku. Fase lima tahun pertama adalah fase penyesuaian. Betul-betul penyesuaian. Meskipun sebelum menikah kami berdua sudah mengalami fase pengenalan selama tujuh tahun dan dalam kurun waktu itu kami sudah dekat selama lima tahun, tetapi tetap saja masih banyak hal-hal yang belum kami ketahui satu sama lain. Orang bilang bahwa lima tahun pertama pernikahan banyak sekali cobaan memang begitulah dengan pernikahanku. Apalagi dalam lima tahun pertama kami masih menjalani Long Distance Relationship (LDR) sehingga banyak sekali terjadi kesalahpahaman yang sering membuat kami harus ngotot beradu pendapat.

Aku salut kepada teman-teman yang bertahun-tahun lamanya menjalani LDR. Bukan perkara mudah menjalaninya dalam sebuah pernikahan. Membutuhkan kesabaran, saling pengertian, dan tentu saja komitmen. Dulu ketika masih pacaran, apabila kami marahan pasti dia yang akan meminta maaf terlebih dahulu meskipun aku yang salah. Waktu itu rasanya gengsi kalau cewek harus minta maaf terlebih dahulu. Itu kalau aku ya, yang selalu menjunjung tinggi gengsi di atas segala-galanya. Meskipun rindu tiada tara takkan pernah mau minta maaf duluan.

Namun, prinsip tersebut porak-poranda ketika sudah menikah.

Pada fase pertama pernikahan kami, apabila aku yang bersalah, tidak akan ada permintaan maaf darinya. Iyalah. Aku juga yang salah. Jadi aku yang harus minta maaf. Awalnya berat banget melakukannya. Dengan berlalunya waktu dan semakin menguapnya sifat gengsi, aku mulai membiasakan mengucapkan kata maaf jika aku salah. Okelah. Adil juga kurasa. Siapa yang salah dia yang harus minta maaf.

Permasalahan berikutnya adalah kami semakin tidak tahu sebenarnya siapa yang benar dan siapa yang salah. Itu terjadi pada fase pernikahan kami kedua, yaitu ketika usia pernikahan 6-10 tahun.

Fase kedua ini menurutku adalah fase penentuan berhasil tidaknya sebuah pernikahan. Ini adalah teoriku berdasarkan pengalaman, tidak melalui riset penelitian.

Jadi, pada fase kedua pernikahan, aku merasa suamiku yang dulu lemah lembut berubah menjadi seorang yang sangat menyebalkan. Entahlah, semakin lama dia berubah menjadi arogan dan mudah emosi.

Anehnya sifat tersebut hanya ditujukan kepadaku. Kepada orang lain tidak. Di depan orang lain suamiku tetaplah Mr. Nice Guy. Termasuk di depan anakku, dia tetaplah Ayah favorit. Meskipun dia sering marah tanpa sebab kepadaku tidak pernah dia meminta maaf duluan. Awalnya kalau dia marah-marah aku diamkan saja. Kalau dia tidak minta maaf aku juga tidak akan mau berbicara dengannya.

Namun, hal tersebut tidak membuat dia menyadari kesalahannya. Aku jadi berpikir sebenarnya siapa yang salah, ya? Menurutku dia yang salah, tetapi mengapa dia tidak meminta maaf padaku? Akhirnya aku sampai pada kesimpulan okelah mungkin aku yang salah. Aku yang harus minta maaf. Titik.

Ternyata kejadian seperti itu terjadi berulang kali. Jadi, pada fase kedua pernikahanku, aku merasa menjadi pribadi yang berbeda. Selalu mengalah. Selalu merasa salah. Sebetulnya itu bukanlah sifatku banget. Aku selalu mengajaknya diskusi, tetapi suamiku tidak pernah memberi ruang itu untukku.

"Nda, aku ini kepala keluarga. Aku tidak mungkin menghancurkan keluargaku sendiri. Aku yang bertanggung jawab di keluarga ini. Bunda manut aja. Enggak usah banyak protes tinggal ngikuti aja. Mudah dan enggak repot. Tinggal Bunda mau enggak ngikuti omonganku. Kalau masih mau ngeyel, ya, terserah!" Begitu selalu yang dia katakan kalau aku meminta diberi waktu untuk diskusi.

Karena selalu menemui jalan buntu, akhirnya aku ikuti saja kemauannya tersebut. Meskipun hati ini meronta-ronta tidak puas, tetapi daripada rebut, ya, sudahlah aku mengalah saja. Itulah mengapa aku katakan bahwa fase kedua ini adalah fase penentuan pernikahanku mau dibawa ke mana.

Alhamdulillah karena pada akhirnya aku menuruti suami meskipun awalnya protes, apa yang dikatakannya memang benar adanya. Dia membawa keluarga kami pada kehidupan yang lebih baik. Meskipun suamiku sungguh otoriter, tetapi dia menjaga keluarganya dengan penuh tanggung jawab. Syaratnya aku turuti perintahnya dan tidak mengeyel.

Pernah aku bertanya kepada suamiku mengapa dia kalau di depan banyak orang selalu menjadi pribadi yang menyenangkan, sedangkan di depanku sering marah-marah tidak jelas.

"Karena bagiku Bunda adalah orang yang paling dekat denganku. Aku tidak takut memperlihatkan kejelekanku pada Bunda. Kalau aku marah ke Bunda, sakit hati Bunda tidak akan lama. Kalau aku marah kepada orang lain, bisa jadi orang tersebut akan sakit hati selamanya padaku," jawabnya.

Entah itu pujian untukku atau pembelaan dirinya, tetapi yang pasti pada fase kedua pernikahanku banyak maaf yang aku berikan untuknya.

Fase ketiga terjadi saat usia pernikahan di kisaran 11-15 tahun. Fase ini adalah fase rekonsiliasi. Mungkin dengan bertambahnya usia, kami semakin dewasa dan bijaksana. Baik aku maupun suamiku sama-sama semakin mau mendengar. Tidak segan saling mengucapkan maaf kalau kita merasa bersalah. Semakin memahami bila salah satu dari kami tidak suka dengan apa yang kami lakukan. Pokoknya fase ini adalah kebalikan dari fase kedua.

Fase keempat adalah fase cooling down. Kira-kira setelah usia pernikahan kami menginjak usia 16 tahun hingga 'Sabtu Kelabu' itu datang. Fase ini adalah fase paling tenang dan damai dalam kehidupan pernikahanku. Kami hampir tidak pernah bertengkar. Sekalipun bertengkar, hanya hal-hal kecil yang tidak perlu sampai berlarut-larut. Suamiku juga semakin sabar dan perhatian. Aku pun juga semakin hormat padanya. Mungkin memang begitulah akhir sebuah cerita karena sudah tidak ada konflik, cerita pun harus segera berakhir. Alias 'The End'.

Untuk perkawinan kami, aku merasa bahwa akulah faktor utama yang membawa perkawinanku mau ke mana. Menurutku, Fatih lebih mengikuti arah yang aku bawa. Kalau aku keras, dia akan lebih keras. Kalau aku banyak mengalah dia pun akan lebih lembut menghadapiku.

Suamiku orang yang diam, tenang, kalem tetapi tajam tanpa belas kasihan apabila ada yang dia tidak suka. Setelah lama mengenalnya aku selalu berusaha sebagai tim yang mengalah. Aku selalu menanamkan prinsip bahwa suamiku adalah kepala keluarga. Dia orang baik. Tidak mungkin membuatku susah. Aku yang harus selalu mengikutiya karena dia adalah pintu surgaku.

Aku tutup album foto pernikahan kami. Pintu surgaku sudah pergi. Banyak cerita yang bisa dikenang. Aku ingin mengenangnya perlahan-lahan. Satu demi satu. Agar rasa itu abadi dan selalu ada dihatiku.

#Minggu, 20 Desember 2020

Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now