Hari Keempat Belas Tanpamu: Koin Keberuntungan

228 41 0
                                    

Hari Sabtu datang lagi. Dua minggu sudah peristiwa 'Sabtu Kelabu' itu terjadi. Selain itu hari ini 19 Desember 2020 adalah Dies Natalis UGM ke-71. Bertepatan juga dengan hari bersejarah bagiku dan suami. Tepat dua puluh tujuh tahun yang lalu dia membawa bunga dan puisi untukku. Mengajakku untuk jalan bareng merajut cerita bersama. Mengisi hari-hari kami dengan kisah kasih yang indah.

Biasanya kami merayakannya berdua hanya dengan keluar makan atau sekadar nonton film di rumah. Tidak terlalu spesial. Tidak ada kado seperti halnya ulang tahun perkawinan. Kami selalu ingat itu pun karena bertepatan dengan dies natalis UGM. Sama sekali tidak romantis.

Sekarang aku merayakannya sendiri. Aku buka lagi album foto jadul yang berisi kami berdua ketika masih kuliah. Entah kenapa waktu itu aku dan Fatih sudah memiliki kamera sendiri hasil patungan berdua. Masih aku ingat kamera seken dengan merek Yashica. Entah masih ada atau tidak merek itu sekarang.

Ada foto kami berdua memakai jaket almamater di gedung pusat. Aku masih ingat waktu itu tidak ada momen apapun. Hanya ingin berfoto memakai jas almamater di gedung pusat. Mungkin aku temasuk fotogenik atau Fatih yang pandai mengambil sudut pemotretan sehingga hasilnya bagus-bagus. Bahkan wajahku jauh lebih cantik dari aslinya. Waktu itu untuk pengambilan foto tidak terlalu rumit seperti sekarang yang harus mencari sudut pandang tertentu agar tampak langsing. Dahulu dari sudut pandang manapun foto diambil tetap saja aku terlihat langsing. Bukan langsing lagi, melainkan kurus.

Kami jarang foto berdua karena dulu tidak ada mode selfie. Jadi kebanyakan adalah foto sendiri-sendiri. Andaikan ada foto berdua hanya sedikit karena harus meminta tolong orang lain untuk memotret. Suamiku paling malu kalau dipotret oleh orang lain yang tidak dikenal. Jadi harus menunggu ada teman yang kami kenal baru kami bisa foto berdua.

Ada juga foto ketika aku berada di stasiun. Tersenyum dengan memamerkan koin logam warna tembaga senilai lima ratus rupiah Aku masih ingat. Itu adalah awal-awal kami menikah dulu. Dua tahun awal pernikahan, kami jalani dengan LDR. Aku bekerja di Jakarta, sedangkan suamiku bekerja di Semarang. Setiap Jumat malam dua minggu sekali aku pulang ke Semarang naik kereta api Senja Utama kelas bisnis. Aku yang selalu pulang ke Semarang karena hari Sabtu dia tidak libur. Pulang hanya dua hari karena Minggu malam harus kembali ke Jakarta.

Setiap mengantarku ke stasiun Tawang, suamiku punya kebiasaan memberiku koin lima ratus rupiah.

"Untuk apa sih, Fatih? Kok, selalu ngasih koin lima ratus rupiah?" tanyaku kala itu.

Sebelum punya anak aku selalu memanggil dia dengan namanya saja. Tanpa embel-embel 'mas'. Enggak sopan memang. Namun, karena dulu teman kuliah jadi terbiasa memanggil nama saja. Setelah menikah aku mencoba menambah embel-embel 'mas' di depan namanya. Bukannya menjadi terbiasa, yang ada malah aku geli sendiri mendengarnya. Dia pun sama. Akhirnya kami putuskan untuk tetap memanggil seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Panggilan berubah setelah mempunyai anak karena mengikuti panggilan anak.

"Itu koin keberuntungan Rin. Simpan saja," jawabnya singkat.

"Koin keberuntungan gimana? Ada-ada saja," ucapku geli.

"Uang satu juta kalau kurang lima ratus rupiah juga tidak jadi satu juta, Rin. Kamu beli tiket kurang lima ratus rupiah juga enggak bakalan dikasih tiketnya sama penjualnya," jelasnya sambil membuka genggaman tanganku yang berisi koin lima ratus rupiah dan mengambilnya, kemudian menggoyang-goyangkannya di depan mataku.

"Makanya ini namanya koin keberuntungan."

"Kalau begitu semua uang koin juga koin keberuntungan dong," protesku.

"Iya memang. Intinya semua yang mempunyai nilai itu adalah keberuntungan bagi kita meskipun nilainya kecil. Jadi jangan menyepelekan hal kecil seperti itu. Disimpan ya. Ini koin keberuntungan dariku," jawabnya sambil mengembalikan koin itu ke tanganku. Kemudian digenggamnya. "Hati-hati, ya, di sana."

Aku mengangguk dalam diam, kemudian menyandarkan kepalaku di bahunya. Kami duduk di kursi tunggu menanti kereta yang belum datang. Dia seperti biasa memainkan jari-jariku. Menggenggamnya. Kadang menciumnya. Aku tahu dia sangat mencintaiku. Seperti aku yang juga sangat mencintainya.

Tanpa sepengetahuannya koin-koin keberuntungan itu selalu aku simpan dengan baik tidak pernah aku gunakan. Sampai dua tahun kemudian ketika aku pindah tugas ke Semarang, koin itu masih aku bawa dan menyimpannya dalam sebuah botol kaca bening. Setelah aku pindah rumah pun, koin itu masih kusimpan, tetapi sepertinya semakin tidak terurus. Aku sendiri melupakannya. Mungkin juga dikira uang receh biasa sehingga diambil untuk jajan atau untuk uang parkir oleh orang rumah.

Fotoku dengan koin keberuntungan itu diambil suamiku ketika akan masuk ke gerbong kereta. Setiap foto mempunyai kisah sendiri. Aku bersyukur banyak sekali kenangan indah dulu yang aku dan suamiku abadikan. Aku jadi teringat kata-kata Genie di Film Aladin 2 dalam The Return of Jafar.

"Today's special moments are tomorrow's memories"

Hargai apa yang kita miliki saat ini karena mungkin esok apa yang kita miliki hanya tinggal kenangan.

#Sabtu, 19 Desember 2020.

Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now