Hari Ketiga Belas Tanpamu: Kampus Sejuta Cerita

300 42 0
                                    



"Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna
Terhanyut aku akan nostalgi
Saat kita sering luangkan waktu
Nikmati bersama
Suasana Jogja"

Suara Katon Bagaskara mengalun indah dari laptopku. Menemani pagiku yang cerah dengan setumpuk pekerjaan rutin di kantor. Siapa yang tidak mengenal dengan lagu "Yogyakarta" tersebut? Hampir semua anak muda pada zaman itu mengenalnya. Bukan hanya anak muda, melainkan orang-orang tua juga banyak yang tahu dengan lagu tersebut. Apalagi bagi orang-orang yang pernah tinggal di Yogyakarta. Lagu yang legendaris dan bernuansa romantis itu seakan memancarkan kembali pesonanya, mengingatkanku, dan membuat rindu pada kota tersebut. Kota unik yang menjadi saksi berbagai peristiwa penting dalam hidupku.

Sembilan tahun aku hidup di Yogyakarta. Kota tersebut sudah seperti kampung halamanku sendiri. Di sana aku tumbuh menjadi anak remaja hingga dewasa. Pertama kali mengenal indahnya cinta sekaligus sakitnya patah hati. Sangat berwarna penuh selaksa makna.

Selain Yogyakarta, Gadjah Mada juga mempunyai arti tersendiri bagiku. Universitas terbesar di Indonesia itu menjadi cikal bakal aku berkarya sampai sekarang. Bagiku, Yogyakarta adalah kota sejuta kenangan dan Gadjah Mada adalah kampus sejuta cerita. Di sana banyak kisah yang memenuhi diari kehidupanku.

Sejak memasuki jenjang sekolah menengah atas, aku sudah merantau jauh dari orang tua. Hidup sendiri di Kota Yogyakarta membuatku harus belajar hidup mandiri sejak masih remaja.

Kampus UGM sendiri mempunyai lanskap yang sangat bagus dan indah. Suasananya nyaman dan sangat asri. Pohon-pohon besar banyak tumbuh di sana membuat suasana tenang untuk belajar. Seharusnya julukan kampusku adalah Kampus Hijau bukan Kampus Biru seperti yang dikenal seperti sekarang.

Kampus Biru mulai disematkan sebagai UGM karena sebuah novel karya Ashadi Siregar berjudul "Cintaku di Kampus Biru". Novel yang kemudian dibuat film pada tahun 1976 dengan bintang film terkenal saat itu yaitu Roy Marten. Novel atau film tersebut bercerita tentang seorang mahasiswa antropologi, Universitas Gadjah Mada, bernama Anton.

Seorang mahasiswa yang ceria dan brilian. Dia berotak encer tetapi bukan kutu buku. Berwajah tampan dan playboy. Sayangnya, dia sering dihadapkan pada berbagai masalah pada perkuliahannya.

Salah satunya adalah pertengkarannya dengan dosen cantik bernama Ibu Yusnita. Novel dan film "Cintaku di Kampus Biru" sangat terkenal pada masa itu hingga UGM pun terkenal dengan julukan Kampus Biru.

Banyak mahasiswa UGM mengalami kisah seperti Anton tersebut. Selama ini, kampus merupakan tempat yang paling menyenangkan. Di kampus kegelisahan-kegelisahan diredakan dan frustrasi-frustrasi diendapkan. Di antara kesibukan kuliah, kisah kasih antarmahasiswa menambah bumbu-bumbu kehidupan mahasiswa di kampus.

Hal tersebut juga terjadi pada kami. Aku sendiri tidak ingat kapan pertama kali berkenalan dengannya. Mungkin ketika opspek atau pada saat memulai perkuliahan. Yang jelas tiba-tiba saja kami sudah berada dalam satu gang main setelah kuliah.

Aku menetap di indekos di dekat kampus. Dari fakultas harus menyeberang melewati selokan Mataram, kemudian ke arah utara melalui jalan Kaliurang kira-kira satu kilometer. Indekosku khusus untuk mahasiswa perempuan. Berlantai dua dengan jumlah kamar kos kurang lebih 14 atau 15 kamar. Seperti halnya indekos pada umumnya, aturan indekosku juga ketat. Tamu laki-laki tidak boleh masuk. Hanya boleh menerima tamu di ruang yang sudah disediakan di depan. Itu pun ada jam berkunjungnya. Aku nyaman tinggal di sini.

Semua teman indekos mengenal suamiku karena kami menjalin hubungan lumayan lama. Sampai suara motor suamiku pun semua hafal. Makanya mereka selalu tahu kapan suamiku yang waktu itu masih berstatus pacar datang ke indekos tanpa harus memencet tombol bel di pintu depan. Suara motornya Yamaha Alfa sangat khas memekakkan telinga hingga terdengar dari dalam.

Tiga Puluh Hari TanpamuWhere stories live. Discover now