36

566 79 12
                                    

"... Aku akan mundur teratur."

Gemi terngiang-ngiang ucapan Jagat sebelum mengakhiri panggilan malam itu. Ia memang aneh, menolak keras Jagat demi alasan menjauhi masalah. Tapi di sisi lain, ia agak kecewa Jagat ingin menyerah saja darinya.

"Online, tapi kok..." Gemi mengembus napas kasar kala mengecek nomor Jagat. Jarinya ingin mengetikkan sesuatu, menanyakan basa-basi sekedar menuntaskan kegundahan hatinya.

Semenjak percakapan di telepon tiga hari yang lalu, Jagat sama sekali tidak menghubungi Gemi lagi. Jangankan telepon, kirim pesan selamat pagi atau lainnya juga tidak. Padahal, itu yang Gemi tunggu belakangan ini. Pesan yang biasa dianggap tidak penting atau kurang kerjaan, kini seperti berharga untuk ditunggu.

Gemi ingin menyapa dulu, tapi jaga gengsinya terlampau besar.

"Gem!" panggilan disertai tepukan di pundak Gemi sukses membuatnya terlonjak.

"Kaget banget Kamu, Gem?" Nella ikutan kaget saat Gemi terlonjak.

Gemi mengembus napas agak panjang sambil mengelus-elus dadanya yang terhentak. "Mbak Nel, sih, bikin kaget." sautnya.

Nella mendecih, "Pora kewalik (pa gak kebalik)?" ujarnya.

Gemi hanya meringis simpul, "Mbak Nel ada perlu sama Aku?"

Nella memberi anggukan, "Ngobrol sambil makan siang, yuk." ajaknya.

"Boleh, tapi jangan di tempat makan yang pedes-pedes dulu, ya. Takut kambuh." Gemi mengiyakan.

Nella menyetujuinya, ia menggandeng lengan besar Gemi ke warung pujasera tak jauh dari kantor. Sampai di sana, Gemi langsung mengambil kertas pesan dan mencatatkan pesanan mereka berdua. Sementara itu, Nella menyiapkan tempat duduk sekalian mengelap meja dengan tisu. Gemi selesai menyatat, ia pergi menyerahkan kertas pesan ke kasir, kemudian kembali.

"Aku mau kasih info loker ke Kamu." sampai Nella saat Gemi duduk kembali di seberangnya usai dari kasir.

"Loker di bagian apa, Mbak?" mata Gemi mengilatkan ketertarikan.

"Sekertaris." jawab Nella bertepatan dengan datangnya minuman yang mereka pesan.

"Sekertaris?" perasaan Gemi mendadak tidak enak, ia mendeteksi sesuatu yang kurang baik. Kilatan ketertarikan di matanya perlahan sirna.

Nella mengangguk, kemudian mengaduk-aduk es teh lemon miliknya. "Posisi sekertaris Pak Dirman masih kosong, jadi kutawarin ke Kamu. Aku capek kerja rangkap jabatan, Gem. Tau sendiri bosmu itu gimana." curhatnya sambil meneguk sedikit es teh lemonnya pakai sedotan.

"Kalo loker itu, sih, matur suwun sanget Kulo (makasih banget Aku), Mbak. Selain males, posisi sekertaris itu juga bukan bidangku. Mbak lihat saja, masak modelan kayak Aku jadi sekertaris. Yang ada Pak Dirman malah jadi bulan-bulanan kolega atau kliennya." jawab Gemi tanpa perlu pikir panjang, sudah jelas ia tidak memenuhi standar.

"Semua kan bisa dipelajari, Gem. Kamu gak kasin sama Aku, dah umur segini belum nikah-nikah juga. Gimana mau cari calon, malam minggu aja malah kencan sama laporan-laporan." curhat Nella pasang wajah memelas.

Gemi menarik napas, "Aku juga belum nikah-nikah, Mbak. Kita kan hanya selisih dua tahun." ujarnya seraya membuang napas cepat.

Nella kesulitan membantah, ia sadar bahwa yang punya masalah nikah bukan dirinya saja. Ia meraih tangan Gemi dan menggenggaminya. "Aku tau itu, tapi saat ini cuman Kamu kandidat sekertaris yang bisa naklukin Pak Dirman. Kalo sekarang ada orang lain yang ngisi, kuyakin gak akan bertahan lama." Nella memohon-mohon.

Gemi mesem lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Aku mending tetep jadi tukang bersih-bersih aja, Mbak. Eman kesehatanku, kalo ngadepin Pak Dirman tiap hari." tolaknya seteguh karang.

"Ayolah, Gem.... Ini peluang bagus buatmu, Kamu bisa jadiin ini sebagai batu loncatan di karirmu. Mau, ya?" Nella pantang arang membujuk.

Gemi lagi-lagi menggeleng, ia teguh pendirian dengan penolakannya. "Biar peluangnya diambil orang lain, Mbak Nel."

Nella mendengus kasar, "Beneran nolak? Kesempatan gak diundi dua kali, lho, Gem."

"Aku gak tertarik dengan undian itu." putusan Gemi sudah bulat.

Nella melambaikan tangan ke kamera, ia menyerah membujuk Gemi. Dipaksapun, Gemi tidak ada gairah untuk pekerjaan lumayan bagus itu.

"Yowes, nek ngono. Nanti tak nyari yang lain."

...

Jagat senang sekali akhir-akhir ini. Senyumannya tak pernah lekang meski dikatai kurang waras oleh Amar dan Bima. Bagaimana tidak begitu, saat Jagat bermain bola dan kepalanya terbentur tiang gawang, ia malah tertawa-tawa macam orang kerasukan.

"Pak Wow bisa gak, ya, ngerukyah Jagat? Takutku setannya terus nempel ke badannya." lontar Amar sambil menarik tangan Jagat bersama Bima.

"Yo jelase gak bisa, tho, Am. Yang bisa itu Pak Hamdani, guru agama kita. Piye, tho, Am ... Am..." Bima menyautinya sungguhan.

"Aku guyon, cuk!" umpat Amar berbarengan dengan keberhasilan mereka membangunkan Jagat dari rerumputan. "Aku juga ngerti kalo soal itu. Adzan aja keliru, apalagi ngerukyah." lanjut Amar.

"Itu tau, kok masih nanya." ucap Bima sembari membersihkan punggung Jagat yang ditempeli bekas pemangkasan rumput lapangan.

Amar berusaha sabar, menahan diri untuk menonjok muka Bima.

"Kak Jagat ... Kamu baik-baik aja, kan?" para penggemar Jagat langsung berkerumun di dekatnya. Mereka sempat berteriak histeris kala kepala Jagat bukannya menyundul bola malah mencium tiang gawang.

"Aku bahagia." jawab Jagat melantur didampingi kekehan.

Amar dan Bima saling memandang, firasat mereka semakin benar. "Kita mesti bawa Kamu ke Pak Hamdani, Gat." bilang Amar.

"Aku gapapa, Aku bahagia." Jagat meracau layaknya orang mabuk atau dalam pengaruh obat tertentu.

"Istigfar, Gat, istigfar..." Amar makin prihatin melihat temannya.

Jagat saat ini tengah digandeng kanan kiri oleh Amar dan Bima keluar lapangan. Mereka terpaksa berhenti main bola lebih dini demi mengobati temannya yang semakin memprihatikan.

...

Gemi kembali memikirkan Jagat meski sudah coba dialihkan. Bocah SMA itu membuat pikirannya karut-marut seperti hidupnya.

"Kamu kenapa, tho, Mbak? Perutmu masih sakit, ya?" Rara heran melihat Gemi hanya mengaduk-aduk semangkuk baksonya dan terlihat tidak berselera.

"Enggak, kok. Cuman lagi banyak pikiran." timpal Gemi kemudian memasukkan satu bola bakso ke mulut dan mengunyahnya.

"Emangnya Mbak mikirin apa? Masalah sama Mas Kula? Atau Mas Langit?" terka Rara.

Gemi menggeleng, "Bukan keduanya."

"Trus opo?" tagih Rara tidak sabar.

"Aku merasa bersalah udah bohongin Jagat." ungkap Gemi pada akhirnya.

"Bohongin soal apa? Trus, kenapa Mbak harus merasa bersalah juga? Mbak gak mungkin, kan, punya perasaan ke dia?" Rara mencecar berbagai pertanyaan. Ia mengendus sesuatu yang tidak ia sukai.

Gemi menaruh sendok dan garpu yang dipegangnya. "Aku bilang kalo Mo Tae Goo pacarku dan ... ngebohongi perasaanku sendiri." ungkapnya bikin Rara membulatkan mulut dan matanya.

"Mbak suka sama Jagat?" Rara syok mengetahuinya. Suaranya melengking berbaur sempurna dengan keramaian penikmat bakso dan lalu-lalang kendaraan.

Gemi menganggukinya malu-malu.

"Mbak ... Mbak kok suka sama Jagat, sih? Aku kan udah bilang, kalo Aku gak suka Mbak Gemi sama dia." Rara mengomel, kecurigaannya terbukti benar.

"Aku pinginnya, ya, gitu. Tapi, gak iso." aku Gemi frustrasi.

Rara merengut, "Tau gitu Aku gak usah ngasih tau soal Mo Tae Goo."

"Opo, Ra?"

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Where stories live. Discover now