6

1K 127 1
                                    

Jagat menderu napas kasar. Orang yang dikirim sang mama mau membawanya dalam masalah.

"Ya udah, berhenti, Mbak! Biar Saya yang di depan." pintanya.

Gemi melonggarkan gas gribnya dan menepikan motor yang belum jauh melaju itu ke tepi jalan. Mereka bertukar posisi. Gemi menjadi penumpang dan Jagat sebagai penyetir, padahal harusnya sebaliknya.

"STNK-nya Mbak bawa, kan?" Jagat memastikan sambil melaju.

"Iya, kubawa. Tak siapin sekalian." jawab Gemi mantap. Ia merogoh-rogoh tas selempanya.

Endi, tho (mana, sih)? Kok, gak ketemu-ketemu, yo.

Gemi membatin sambil terus mengubek-ubek isi tasnya. Ia merasa sudah memasukkannya tadi sebelum berangkat ke sini.

"Dek, bisa setop dulu, ndak?" Gemi bertanya.

"Kenapa?" saut Jagat.

"STNK-nya keselip, deh, kayaknya." terang Gemi.

Jagat menderu napas kasar lagi, ia berharap drama STNK hilang atau ketinggalan tidak akan terjadi menimpanya.

Gemi turun dari motor, mencari tempat yang lapang agar memudahkan pencarian STNK di tasnya.

Jagat yang masih menunggangi motor hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Gemi menumpahkan isi tasnya ke trotoar. Isi tas itu seperti sampah di mata Jagat. Bagaimana tidak, isinya setruk mungkin ATM atau belanjaan, tisu kumal entah baru atau bekas pakai, kaos kaki, plastik bening 1 kiloan, potongan kuku, gunting, gawai, koin-koin dollar, dan sebuah dompet. Tas itu lebih pantas disebut keranjang pemulung bila melihat isinya.

"Waduh, STNK-nya ketinggalan ternyata."

Sial, drama itu sungguh menimpa Jagat.

"Gimana ini, Dek? Ada jalan alternatifnya, gak, ke rumahmu?" Gemi jadi tak enak hati dengan anak atasannya tersebut.

Jagat sekuat-kuatnya menahan diri untuk mengumpat. "Ada, tapi jauh." jawabnya.

"Walah (duh), pie ki (gimana nih). Jauh banget, tho, Dek?"

"40 menitan." penyampaian Jagat membuat Gemi mau melonjak.

"Biyuh, biyuh... (duh, duh, duh)! Bisa-bisa, magrib Aku baru nyampek kantor iki (ini). Iya, kalo gak nyasar ke tempat lain." keluh Gemi yang selama ini terkendala susah mengingat rute jalan.

Jagat mengelus dada, baru pertama, oh, bukan, kedua kalinya mereka bertemu kemalangan menimpanya. Jagat mungkin perlu ritual tertentu agar tidak sial melulu.

"Naik!" suruh Jagat.

"Eh, jadi lewat sana, Dek? Nanti Aku,"

"Itu urusanmu!" potong Jagat berhasil membelalakkan mata Gemi.

"Asem, tenan (bgt)! Ya, gak bisa gitu, tho, Dek. Saya in-"

"Nanti kuanter." lagi-lagi Jagat menyela omongan Gemi.

Gemi membuang napas pendek, anak SMA itu tidak sopan sekali menyelanya saat bicara.

"Cepet, naik! Aku ada les nanti." Jagat menyuruh-nyuruh wanita yang 10 tahun lebih tua darinya tersebut.

Penuh perasaan mendongkol Gemi menuruti titah anak SMA tersebut. Mungkin suratan takdir Gemi sudah berganti, ia dituliskan untuk patuh disuruh-suruh.

Perjalanan panjang pun diteruskan.

...

"Mampir sebentar dulu di masjid, Dek! Aku belum solat." Gemi mengaba Jagat di tengah perjalanan.

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Where stories live. Discover now