21

724 92 4
                                    

"Dek opo salah awakku iki...
Kowe nganti tego mblenjani janji...
Opo mergo kahanan uripku iki...
Mlarat bondo seje karo uripmu..."

Lagu bernuansa galau ciptaan sang maestro lagu-lagu patah hati, yakni Didi Kempot, disenandungkan Gemi penuh perasaan sambil mengangkut sampah-sampah dari tiap ruang.

"Aku nelongso mergo ke bacut tresno...
Ora ngiro saikine cidro..." lafalnya menjiwai sekali.

Endah yang sedang mengepel tidak jauh darinya sampai menggeleng terheran-heran. Gemi seperti berada di tengah-tengah konser sang maestro, Didi Kempot.

"Kalung emas sing ono gulumu
Saiki wis malih dadi biru..." kini Gemi beralih menyenandungkan lagu lainnya, masih karya sang maestro Didi Kempot. Ia menyanyikannya dengan mimik yang mengekspresikan hatinya disayat-sayat sembilu.

"Cendol dawet, cendol, cendol, dawet, dawet, cendol dawet seger, tak kintang kintung, tak kintang kintung, joss!" Endah sengaja menyauti dengan suara lebih nyaring untuk mengejek Gemi.

Gemi yang merasa disaingi pun menghentikan senandungnya, ia tak kuasa menahan semburat tawa. Endah membawakannya lebih heboh darinya.

"Mbak En terkena demam ambyar juga, ya, ternyata." lontar Gemi.

"Perasaan dari dulu Aku memang sudah ambyar, Gem. Ditambah lagi ngeliat Kamu yang menjiwai sekali ambyarnya, persis kayak orang yang habis patah hati." aku Endah mengungkapkan penilaiannya.

Gemi manggut-manggut, ia memang sedang dalam tahap menyembuhkan luka patah hatinya yang telah lalu.

"Oh, ya, Mbak. Nanti kalo jam sembilanan Aku pamit keluar sebentar, boleh?" Gemi menyampaikan pamitnya.

"Mau ke mana memangnya?" Endah meminta keterangan lain.

"Mau nganterin sepupuku rekam KTP." terang Gemi lebih lanjut. Endah pun mengizinkan dengan syarat segera kembali jika sudah selesai.

...

Gemi menanti sepupunya yang sedang rekam pembuatan KTP baru. Ia duduk di bangku panjang berbahan besi yang sengaja disiapkan untuk diduduki para pengurus pencatatan sipil.

Sesekali Gemi mengecek gawai, barang kali ada yang menghubunginya. Mengajaknya makan seperti yang dilakukan sang mantan tiga hari lalu. Atau pesan Jagat yang menanyai kabarnya. Nihil, aplikasi pesan gratisnya tidak ada pesan semacam yang ia harapkan. Senyap seperti dirinya yang jomblo.

"Mbak..." seorang menjawil pundak Gemi dari samping. Otomatis Gemi langsung menoleh.

"Boleh tanya mengenai ini? Saya bingung sudah nyoba dari tadi." ungkap penjawil yang merupakan seorang bapak berusia kira-kira 50 tahunan.

"Coba Saya lihat," Gemi meminta izin mengakses gawai bapak tersebut. "Bapak ini mau ngurus apa, ya?"

"KTP Saya hilang, kata petugasnya bisa diurus sendiri dengan aplikasi ini." jelas bapaknya.

Gemi mengangguk paham, ia lantas menjelaskan bapaknya tahap demi tahap sambil mempraktikkannya langsung. Gemi begitu piawai menjelaskan, sampai-sampai orang di dekat bapak itu ikut menyimak dan memperhatikan.

"Mbak, kalo kayak punya Saya begini?" penyimak di sebelah bapak itu ikut mengajukan tanya.

"Oh, kalau punya sampean pakai yang ini, Mas." Gemi memberi petunjuk sembari menunggu proses memuat milik si bapak.

Si mas penyimak mempraktikkan sambil diarahkan Gemi.

"Mbak-mbak, kalo punya Saya ini sudah benar?" penyimak lain jadi ikutan meminta pertimbangan Gemi.

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Where stories live. Discover now