31

612 72 0
                                    

"Aku mengkhawatirkan Kamu, Mbak."

Sontak Gemi tertegun mendengar pengakuan Jagat.

"Seperti yang kubilang kemarin, Aku ingin punya hubungan denganmu, Mbak. Yang jelas, khusus, dan spesial. Bukan sekedar penjemput dan yang dijemput." tuntut Jagat sambil memandangi Gemi di sampingnya amat dalam. Matanya benar-benar memancarkan kesungguhan atas ucapannya.

Gemi mengerjapkan mata setelah dibuat tak berkedip oleh pengakuan sungguhannya Jagat.

"Maksudmu pacaran atau sejenisnya itu?" Gemi memastikannya langsung.

"Iya." singkat tapi mendalam Jagat menjawabnya.

Gemi mengangguk-angguk, bersikap tenang dan anteng. Meskipun sebenarnya, batinnya bergemuruh tidak karuan. Gemi tidak mati rasa meski cintanya ke Langit harus padam. Ia masih normalnya orang yang berdebar-debar saat ada manusia lain yang menyatakan cinta padanya.

"Kamu nyatain perasaan ke Aku gak nanya dulu, Aku punya doi atau enggak?"

"Mbak jomblo, kan?"

"Kata siapa? Sok tau Kamu!"

"Biarin, Aku gak peduli soal itu. Aku cuman pingin menyatakan perasaan dan berharap punya hubungan lebih denganmu, Mbak."

"Aiguh ... Matur nuwun sanget (maacih banget), sudah menyukai Saya. Tapi maaf, Mo Tae Goo sudah mengisi hati Saya, Dek Byakta Sejagat." tutur Gemi menyertakan nama si tokoh dalam sebuah drama genre thriller favoritnya.

"Siapa tadi, Mbak?" Jagat mempertajam pendengarannya lantaran asing dengan nama tersebut.

"Mo-Tae-Goo." ulang Gemi jelas-jelas.

"Ada, ya, orang sini namanya kayak gitu? Mbak bohong, kan, demi nolak Aku? Gak mungkin laki-laki itu namanya mosiapa tadi." Jagat menyangkal pengakuan Gemi.

"Mo Tae Goo!" Gemi otomatis mengegaskan nama idolanya yang disebutkan tidak benar. "Tak ketak batukmu (kujitak keningmu), sembarang nyebut nama sucinya!" kecamnya.

"Salah sendiri punya nama aneh." Jagat pun menghujat si pemilik nama.

"Orang tuanya yang ngasih nama, Kamu gak tau artinya jangan komentar." Gemi ngotot membela-bela tokoh fiksi tersebut.

Jagat mendengus, perdebatan tidak penting ini bisa panjang urusannya bila dibahas jauh. Cukup iyakan saja walau nama itu asing di kupingnya.

"Siapa pun itu, Aku gak perduli. Aku tetap akan minta jawabanmu, Mbak." bilang Jagat.

"Yea, itu jawabannya. Kenapa minta lagi?" balas Gemi segera.

Jagat mengerutkan dahi, "Mana?" tanyanya.

"Mo Tae Goo. Kamu paham, kan, maksudku?" lempar balik Gemi.

"Nama aneh itu beneran pacarmu, Mbak?" Jagat tidak yakin dengan kata-kata Gemi.

"Lha, apa perlu kutulis di dahi kalo Mo Tae Goo itu pacarku biar semua orang tau, gitu? Atau perlu dibuatin surat hitam di atas putihnya, iya?" Gemi meyakinkan kata-katanya.

Jagat melihati mata Gemi, mencari kebenaran yang ia inginkan. "Mbak gak bercanda, kan?" ia masih sangat ragu, jawabannya belum ketemu.

"Kamu pikir perasaan boleh dibuat becandaan?" Gemi menunjukkan keseriusannya.

Jagat menggeleng naif, ia tidak bisa menemukan kebenaran yang ia cari karena tatapan Gemi membuyarkan konsentrasinya. Ia terpaksa mempercayai ucapan Gemi yang begitu meyakinkan.

Gemi menyeringai ke arah lain begitu Jagat putus asa membaca pandangan matanya. Sosok fiksi Mo Tae Goo benar-benar dihidupkannya dalam benak dan sukses menumbangkan harapan bocah SMA tersebut.

Gemi menutup seringainya, mengalihkan atensinya pada sosok Jagat yang seperti kerupuk dicelup teh.

"Kalau pun Aku gak punya pacar, Aku tetep gak mau nerima Kamu. Karena Aku gak mau merusak masa depanmu. Kamu masih muda, masa depanmu masih sangat panjang, Dek." nasihat Gemi memilih keputusan yang amat bijak menurutnya.

Jagat menghadapkan wajahnya ke posisi Gemi berada. "Mbak ngomong kayak gitu, emang Mbak udah ngerasa tua?" ucapnya melempar balik perkataan Gemi.

"Yea, enggak. Cuman kalo diibaratkan, Aku ini lebih banyak tersengat matahari ketimbang Kamu. Dan secara fase, kita ini memasuki fase yang beda. Fokus kita tentu beda-beda. Dua tahun lagi usiaku kepala tiga, tentu pacaran bukan tujuanku. Sedangkan Kamu, bentar lagi masuk kuliah. Gak mungkin, kan, Aku minta Kamu nikahin Aku, sementara Kamu tamat SMA aja belum." papar Gemi jelas dan padat.

Jagat memalingkan muka, ia enggan mengiyakan meski ucapan Gemi masuk akal. "Aku hanya ingin punya hubungan denganmu, Mbak. Kalaupun nikah muda, Aku gak masalah. Toh, Mamaku dulu juga gitu." jawabannya tanpa memandang Gemi.

Gemi mendecih samar, pernyataan Jagat membuatnya ingin terbahak-bahak. Menikahi berondong manis dan anak mama tidak pernah masuk dalam daftar hidupnya.

Keheningan menyelimuti, mereka tak saling bicara atau saling pandang lagi meski duduk bersebelahan. Keheningan itu berlangsung hingga dua menit kemudian Halimah memanggil Gemi ke belakang.

"Kalian ngobrolin apa, kok Ibuk denger bahas masa depan segala?" Halimah mengepoi obrolan anaknya.

"Ih, Ibuk kok ngupingin obrolan orang, sih?" protes Gemi kurang suka dikulik-kulik privasinya.

"Kamu kan anakku, bukan orang lain. Lagian Kamu yang ngusir Ibuk, gak boleh deket-deket ruang tamu." Halimah melakukan pembelaan.

"Aku gak ngusir, cuman minta beliin es dawet buat Jagat. Udah, Ibuk ke rumah sebelah aja, ya." Gemi mengambil nampan berisi dua gelas es dawet yang disiapkan Halimah. Kemudian, ia membawanya ke ruang tamu.

Gemi berdeham nyaring, menyirnakan keheningan sambil menghidangkan es dawet ke meja. "Biar adem." ucapannya.

"Hatiku gak bisa diademin cuman pakek es dawet, Mbak." sambar Jagat menohok.

Hampir Gemi terselak ludah sendiri mendengar balasan menohok tersebut. Gemi berdeham lagi, kali ini pelan sekedar membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba gersang.

"Aku gak ahli kalo soal itu." katanya seraya duduk di sanding Jagat kembali.

Jagat meraih segelas es dawet tersebut, kemudian menegaknya tanpa seruput-seruput.

"Kamu tadi gak nyasar ke sininya?" Gemi coba alihkan pembicaraan cukup serius tadi. Berharap pembahasannya sampai di sana.

Jagat menghela napas panjang usai menandaskan es dawetnya. Ia mengusap area sekitar bibirnya dengan ujung ibu jari. Terlihat keren dan hampir membuat Gemi lupa diri. Lupa bahwa ia baru saja menolak perasaan bocah SMA itu dengan dalih tautan usia.

"Mbak pikir aja sendiri. Dah, Aku pamit, assalamualaikum..." Jagat gegas berdiri dan beranjak.

"Waalaikumsalam, hati-hati." jawab Gemi langsung melepaskan Jagat pulang begitu saja. Padahal, ada asa Jagat yang ingin ditanyai atau dicegah dulu agar tidak buru-buru pulang.

"Titip salam, ya, buat Pak Wanto kalo pas ngembaliin kunci motor. Sekalian buat Mamamu juga." pesan Gemi saat Jagat menunggangi motor seraya memakai helm.

"Apa pentingnya salam untuk mereka," Jagat mendecih sambil menggerutu.

"Jangan ngebut-ngebut, inget itu motor kantor bukan motormu." Gemi berpesan lagi khusus untuk bocah SMA tersebut.

Jagat enggan mengiyakan atau bahakan mengacuhkan pesan Gemi padanya. Baginya, semua pesan Gemi terdengar seperti kebawelan di kupingnya.

Jagat menstarter motornya, memundurkannya sedikit dan mengegasnya maju sambil sedikit dibelokkan.

"Hati-hati!" pesannya lagi namun tak diacuhkan Jagat. Bocah SMA itu melaju tanpa melirik kaca spion sedikit pun.

"Siapa itu, Mbak?"

Gemi yang sedang berputar balik akan memasuki rumah dikejutkan oleh sosok Rara. Gadis itu berdiri tegap pas di belakang Gemi.

Gemi mengelus jantungnya lalu menjawab, "Kakak kelasmu gitu, lho."

"Siapa?" Rara mengerutkan keningnya.

Gemi menjawab, "Jagat."

"Huh?"

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Where stories live. Discover now