18

736 96 4
                                    

Hari minggu yang indah, Gemi genap menyandang status bekerja selama sepekan ini. Masa romusanya telah usai dan ia merasakan kemerdekaan. Untuk merayakan hari kemerdekaannya dan menuangkan bagaimana hari-harinya bekerja sepekan ini, Gemi mendatangi Lisa. Tidak lengkap rasanya tanpa berbagi cerita dengan sahabatnya tersebut.

"Kamu ketemu si uler itu lagi, Gem? Si uler yang manfaatin Kamu dan nindas Kamu itu? Si uler yang genit ke bos bandot itu?" Lisa menyerbu tanya kala Gemi memberitahunya pasal Putri.

"Hooh, dia ada perlu dengan kantorku." pertegas Gemi.

"Trus gimana? Mbok jambak gak rambutnya? Kalo Aku jadi Kamu, sih, udah tak bawain gunting dan tak botaki rambutnya." Lisa berapi-api mengatakannya.

"Kamu lebih sadis, ya, dari Aku." komentar Gemi ingin ketawa. "Aku gak ngapa-ngapain dia, Lis." terus Gemi bikin Lisa memicingkan matanya.

"Lha kok mbok biarin aja tho, Gem! Kamu gak ingat gimana dia menzolimi Kamu selama ini? Orang kayak dia gak pantes dimaafin." Lisa kembali bersungut-sungut mendengar jawaban Gemi yang baginya terlalu baik.

"Aku emang gak ngelakuin apa-apa, tapi udah ada yang ngebales perlakuannya, Lis." Gemi menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu.

Alis Lisa terangkat sebelah, "Siapa, Gem? Mas Farhan?" ia kepo.

Gemi geleng-geleng, "Bukan, tapi atasanku langsung."

Lisa mengedepankan tangannya, "Sek (bentar), sek, sek, jelasin padaku gimana bisa atasanmu jadi terlibat." pintanya.

"Oke, oke." Gemi dengan senang hati menceritakan detail kejadiannya. Mulai dari pertemuan pertamanya dengan Putri setelah sekian lama, sampai pada puncaknya Putri dibuat membungkuk padanya.

"Beneran si uler ngelakuin itu?" Lisa melongo, tidak menyangka orang seperti Putri sampai seperti itu.

"Bener, Lis." Gemi mempertegas.

"Wah ... Aku perlu matur nuwun (makasih), nih, ke atasanmu. Siapa, sih, namanya?" Lisa lantas penasaran dengan sosok atasan yang telah sedikit membalas perbuatan Putri pada Gemi.

"Tanya aja sama Farhan, Aku males nyebut namanya." air muka Gemi spontan berubah masam.

"Heh, kok Kamu malah gitu, tho, ngomongnya! Kapan lagi Kamu bisa nguliti wajahnya tanpa ngotorin tangamu, hem?" ceramah Lisa tidak setuju dengan respon Gemi.

"Kamu belum kenal orangnya lebih jauh, Lis! Asal Kamu tua-"

"Tau!" Lisa membenarkan spontan penuh penekanan.

Gemi meringis lebar, "Cuman kebalik aja, lho, kok pake ngegas balesnya." ujarnya.

Lisa cemberut, sejak jadi ibu ia terbiasa mengegas omongan. Padahal, dulunya sama saja. Wekaweka...

...

"Baiklah, anak-anak. Pelajaran hari ini Saya cukupkan sampai di sini. Jangan lupa untuk terus berlatih soal, karena minggu depan sudah mulai tryout. Sekian, terima kasih, selamat siang."

Pelajaran jam terakhir hari ini ditutup oleh seorang guru matematika. Selepas kepergian guru tersebut, murid-murid gegas beranjak pulang.

"Gat, mau ke mana pake semprot wangi-wangian segala?" Amar menyadari kebiasaan baru Jagat yang terasa janggal.

"Pulanglah, ke mana lagi." saut Jagat santai. Ia sibuk merapikan penampilannya.

Amar dan Bima saling lihat-lihatan. Padahal mereka akan pulang, tapi Jagat malah menyolek dirinya seperti akan pergi berkencan.

"Kalo pulang kok pakek dandan segala, sih?" Amar masih saja curiga.

"Hooh, padahal biasanya gak kayak gini. Kamu kayak mau ngedate sama pacarmu, Gat." imbuh Bima ikut sependapat dengan Amar.

"Loh, kalian lupa kalo sekarang Aku sudah punya pacar?" Jagat kembali mengingatkan para sahabatnya soal pernyataannya kala itu.

Amar berdiri, lalu mengosek kepala Jagat. "Katamu cuman bohongan! Tak kampleng tenanan suwe-suwe Kowe (kugampar beneran lama-lama Kamu), Gat!" lontarnya pedas.

Jagat nyengir kuda, mengacungkan dua jari perdamaian. "Aku cuma mau pulang, trus bimbel kayak biasanya." ia berterus terang.

"Pulang kayak biasanya, tapi kelakuanmu gak kayak biasanya, Gat." Amar belum puas dengan kecurigaannya.

"Hooh, Kamu jadi lebih memperhatikan penampilanmu. Persis kayak orang jatuh cinta." Bima membenarkan, ia turut memperhatikan perubahan Jagat yang sebenarnya tidak banyak berubah.

"Aku salah, tho, kalo berpenampilan kayak gini?" Jagat mencari titik permasalahan yang membuatnya dicurigai.

"Yo, enggak jane (sebenernya). Cuman Kamu itu seperti menunjukkan tanda-tanda orang yang lagi jatuh cinta. Wajar kalo kita tanya-tanya." Amar meluruskan agar tidak salah diartikan maksudnya.

"Hooh, tak perhatikan juga Kamu jadi sering lihat HP dan senyum-senyum sendiri setelah itu." Bima mengimbuhi pasal-pasal kecurigaan mereka.

"Iyo, yo. Kamu juga terlihat jarang dijemput Mamamu. Pulang naik apa Kamu, Gat? Kamu, kan, gak mau ngeluarin duit buat naik ojol atau angkutan massal." Amar semakin kritis sekarang.

Jagat ingin ketawa dicekoki pertanyaan oleh mereka berdua. Seakan ia adalah seorang pejabat yang diinterogasi oleh pihak penyidik.

"Aku gak lagi jatuh cinta atau apalah itu, bruh! Kalian ini kebakaran jenggot kayak para penggemarku aja." Jagat meyakinkan mereka bahwa dirinya tidak seperti yang mereka curigai.

"Oh, yeah, merendah di atas bukit peh penggemar e akeh (mentang-mentang penggemarnya bejibun)!" sindir Amar terang-terangan.

Jagat malah merespon sindiran itu dengan tawa.

"Merendah kok di atas bukit, Am?" Bima mendadak kurang cerdas.

"Wes, takon Mbokmu kono! Males Aku jelasin." Amar angkat tangan kalo Bima kumat seperti ini.

...

Jagat sampai di kantor mamanya dan tidak menjumpai Gemi di sana. Endah mengatakan kalau Gemi keluar saat jam makan siang dan belum kembali. Tapi Endah tidak mengetahui pasti ke mana Gemi pergi.

"Apa dia disuruh Mama?" gumamnya sambil menjejakkan kaki keluar markas.

Tiba di depan lobi, Jagat menyaksikan Gemi turun dari mobil seseorang. Dari jendela yang terbuka, bisa dipastikan bahwa pengemudinya ialah seorang laki-laki dewasa. Jagat tentu tidak mengenalnya.

Lelaki yang mengantar Gemi akhirnya melaju pascabincang sebentar. Jagat menyaksikan semuanya.

"Eh, udah di sini anak lanangnya Bu Dewi!" seru Gemi begitu berbalik dan mendapati Jagat yang sedang menatapinya.

"Tunggu sini, tak ambil kuncinya." Gemi melintas begitu saja.

Jagat berotasi mengikuti perginya Gemi. Sekelebat tercium bau hangus dari ruang di dadanya.

Kenapa Aku merasa tidak suka melihat Mbak Beruang pergi sama pria lain? Jagat menanyai dirinya sendiri. Ia tidak paham pasal mengapa ada rasa panas yang menyulut di dadanya.

Benarkah kecurigaan sahabatnya bahwa ia sedang dilanda jatuh cinta?

Jagat menggeleng-gelengkan kepalanya dan betapa terkejutnya ia kala menyadari Gemi ada di hadapannya.

"Kamu kok malah geleng-geleng, gak mau dianter? Yowes, malah seneng Aku." Gemi heran dengan respon Jagat. Tadi ia menanyakan siapa yang akan menyetir, tapi jawaban yang dituai malah gelengan kepala.

"Gapapa. Dah, ayo! Hari ini giliran Mbak yang nyetir. Tilangannya udah selesai." Jagat memilih menutupinya.

Gemi mendecih, "Nggeh, ndoro!" ia menyusul Jagat yang melangkah duluan.



Mbak Beruang, Aku tidak ingin terlalu dini menyimpulkan perasaan ini.

SARANGHAE, MBAK! [TAMAT] Where stories live. Discover now