Intro

138 15 31
                                    

"Mungkin kamu belum bisa melupakan dia, Tha. Makanya, kamu enggak pernah bisa jalan sama orang lain. Kamu masih tidak jujur dengan hatimu sendiri. Bolehlah kamu bilang kalau kamu sudah melupakannya. Yang sebenarnya, lebih bisa dikatakan kamu masih berjuang untuk melupakannya. Jujur sama hatimu dulu, Tha. Baru kamu bisa move."

Ucapan Nuri kembali terngiang usai kami maraton beberapa film bertemakan cinta remaja dari Negeri Tirai Bambu. Entah cuma kebetulan atau Nuri sengaja mengajakku nonton film-film yang justru menyentil tentang kisah lama yang kumiliki.

Kuarahkan tatapan ke lemari kayu dengan beberapa bagian di sisi kanan dan kiri yang keropos. Lemari kayu bekas yang kubeli setelah mendapat gaji pertama sebagai seorang editor freelance. Satu-satunya lemari yang kupunya di kamar ini.

"Siapa tahu Tuhan ngasih kejutan buat kamu, Tha. Siapa tahu sebenarnya kalian jodoh. Dia juga, kan, belum menikah." Ucapan Nuri yang sedikit ngaco kembali terngiang. Wanita satu ini memang paling bisa menghibur kenelangsaan hati kawannya.

Aku sendiri mengabaikan khayalan semacam itu. Jauh-jauh hari tidak ingin berharap bahwa kami--mungkin saja--berjodoh. O, ayolah! Ini bukan film di mana scene menjadi 'Tuhan' atas takdir para pemainnya. Si tokoh pemilik cinta pertama pada akhirnya menikah dengan cinta pertamanya.

Takdir tidak semanis itu, Talitha!

Kuhampiri lemari kayu, membukanya, lantas mencari sesuatu di bagian rak paling bawah. Sebuah kotak karton berukuran 20x30 cm. Bahkan, saat memutuskan untuk merantau bersama Nuri, benda ini tidak kubiarkan tertinggal begitu saja di kampung halaman. Dengan kondisi begini, lantas aku berkelit bahwa aku sudah mengabaikan kisah itu?

"Kalau memang kamu tidak bisa mengungkapkan dengan terang-terangan, kamu berikan saja buku tentang dia. Kamu menulisnya untuk kamu berikan suatu hari nanti ke dia, 'kan?" Lagi-lagi ucapan Nuri menyentil kesadaran.

Iya, dulu aku pernah berjanji kepada Tuhan jika buku ini akan kuberikan kepadanya. Namun, keberanian itu seolah tenggelam begitu saja. Sebuah ketakutan hinggap, meski takut akan apa juga aku tidak tahu.

Takut dia marah telah kujadikan ide cerita? Sepertinya bukan.
Takut dia tersinggung karena kujadikan inspirasi? Sepertinya juga bukan.
Takut dia mengetahui semuanya?
Bukankah itu tujuan dibuatnya buku tersebut?

Tidak, tidak. Aku menulis kisah kami bukan agar dia tahu perasaanku. Tulisan ini kubuat untuk mengobati hal-hal yang tidak bisa kuraih sebelumnya. Salah seorang kawan di dunia literasi mengatakan jika menulis adalah salah satu self healing yang bisa dilakukan. Setidaknya, meski tidak menyembuhkan 100%, tetapi bisa meringankan beban yang mengimpit.

Kubuka kotak karton dan menemukan album kenangan SMA di tumpukan paling atas. Album yang mulai usang termakan waktu. Sudah berapa tahun memang? Sepuluh tahunkah? Namun setidaknya, tidak ada foto yang rusak. Semua masih tampak utuh, meski sudah agak menguning. Di bawah album kenangan, ada album kelas yang kubuat sendiri dengan perpaduan kertas jeruk, plastik laminating, dan benang. Salah satu 'mahakarya' tangan seorang Talitha. Foto-foto yang kukumpulkan dari unggahan milik teman-teman sekelas. Aku sendiri tidak banyak mengunggah foto-foto kebersamaan kami karena ponselku belum canggih saat itu. Terakhir, di tumpukan paling bawah ada buku pertama yang kuterbitkan. Sebuah novel yang menceritakan kisah kami. Bahkan, novel ini hanya aku jual ke orang-orang yang tidak mengenalku secara langsung. Hanya Nuri yang kuberi kesempatan--sebagai teman dunia nyata--untuk membacanya.

Mungkin Nuri benar. Sudah saatnya aku memberikan buku ini dan melepas semua yang tertinggal dalam dada. Apa yang terasa mengimpit, mungkin karena aku belum menuntaskan janji yang disaksikan langsung oleh Tuhan. Aku berjanji atas nama-Nya untuk memberikan buku ini.

Ada yang Memang Sulit DilupakanWhere stories live. Discover now