Momen Kedua Puluh Satu

31 9 4
                                    

Setelah hari ini, masihkah ada esok untuk kita? Sebab, kedatangannya menjadi jembatan yang nyata.
***

Hari ini sama. Raga tidak menjemputku. Mungkin, dia kembali bertemu dengan Jihan di tengah jalan lalu memilih datang bersamanya. Ya, apa boleh buat. Olahraga ekstra lagi, ya, Tha. Terakhir kali bawa ransel penuh muatan sambil jalan kaki selama tiga puluh menit, tuh, kapan ya? Satu tahun lalu mungkin, ya?

Langit masih cukup gelap saat aku menapaki jalan beraspal menuju sekolah. Aroma embun yang melingkupi daun-daun padi memenuhi udara. Segar dan menenangkan. Meski kemarau, pagi di kampung kami masih sangat dingin karena dekat dengan gunung. Namun, justru ini yang mengasyikkan. Saat mengembus napas, uap dari dalam mulut ikut keluar. Persis seperti yang sering kulihat dalam drama-drama korea kalau adegan mereka bertemu musim dingin.

Aku berpapasan dengan Raga tepat di depan gerbang. Aku ingin baik-baik saja. Tidak ingin mempermasalahkan kenapa akhir-akhir ini dia jarang menjemput. Toh, siapa aku sampai memprotes keputusannya yang tidak bisa menjemput? Namun, rasa tidak nyaman justru hadir mengingat--entah bagaimana--akhir-akhir ini kami jarang mengobrol.

"Tha ...."

"Tha!"

"Anin!" Aku berseru saat melihat Anindya sudah di lapangan basket.

Gadis itu melambai, bahkan dengan wajah semringah memintaku untuk mendatanginya lewat kode tangan.

"Aku duluan, Ga!" Tanpa menunggu balasan dari Raga, aku bergegas menghampiri Anindya. Aku ingin menghindari Raga untuk sementara waktu.

"Aku udah izinin kita ke guru piket. Udah naro kertas izin juga di kelas."

Kita yang dimaksud Anindya adalah aku, dirinya, Rashaka, dan Raga. Tuhan menakdirkan kami untuk satu kelas selama dua tahun ke depan. Sungguh menggelikan nasib ini!

"Oke. Makasih, ya, udah sekalian dimintakan izin." Aku memeluknya.

"Ish, kayak sama siapa aja, ih! Kan, kita sekelas."

"Yok, barang-barang anak OSIS masukin ke bagasi. Kita pakai mobil yang itu, ya!" Kak Reksa mengomandoi sambil menunjuk salah satu bus pariwisata.

OSIS memang diminta berkumpul lebih dulu di lapangan sementara menunggu anak-anak kelas X baru berdatangan. Ada beberapa pengarahan dari Pak Abimana dan guru pendamping lain yang ikut acara ini. Tidak semua guru ikut, jadi KBM hari ini tetap berjalan, meski mungkin hanya setengah hari. Beberapa anak kelas XI dan XII yang ikut ekskul pun harus ikut Persami hari ini karena merupakan hari penentuan untuk memilih ekskul bagi anak kelas X.

Hematku, sih, seharusnya diliburkan saja, ya?

Tepat pukul tujuh, anak-anak kelas X diminta berbaris di lapangan basket sesuai gugus masing-masing. Sebelum berangkat, kami harus mengecek kondisi sekaligus persyaratan dan kelengkapan berkemah yang harus mereka bawa.

"Tenda kalian ada semua, 'kan?" tanyaku kepada seluruh anak di Gugus Hijau.

"Ada, Kak!"

"Obat-obatan? Yang pegang bagian obat-obatan, bagaimana? Dibawa, 'kan?"

"Bawa, Kak!" Seorang anak perempuan menyahut.

"Okeh, sip! Setelah ada komando dari Pak Abimana dan Kak Reksa, kalian boleh masuk ke bus yang sudah ditentukan. Jangan lupa cek barang masing-masing sebelum masuk bus, ya?"

"Siap, Kak Tha!"

Selama MOS, gugus ini memang sepakat untuk memanggilku Kak Tha alih-alih Kak Talitha. Mereka bilang kalau manggil Kak Talitha, tuh, kepanjangan. Ya, sudahlah. Terserah saja.

Ada yang Memang Sulit DilupakanWhere stories live. Discover now