Momen Kedua Puluh Sembilan

49 10 2
                                    

Sampai nanti waktu yang memutuskan. Bertahan mendekap namamu atau mengikhlaskan bahwa benar kamu bukan untukku.
***

Samar aku bisa mendengar suara hujan. Tidak aneh jika sudah Desember. Perlahan, kubuka kelopak mata. Namun, tak ada siapa pun di sini. Hei, ke mana semua makhluk yang tadi beramai-ramai menangisi sebuah film? Jahat sekali mereka meninggalkanku sen ... tidak. Aku tidak sendirian. Masih ada seseorang di sebelahku. Dia tersenyum begitu mendapati tatapanku.

"Tadi Nuri mau bangunin kamu, tapi aku cegah. Kamu lelap banget. Aku enggak tega lihatnya kalau kamu dibangunin."

Aku mengerjap beberapa kali. Perlu beberapa detik untukku mencerna dan mengumpulkan nyawa. Jadi, karena ketidaktegaan dirinya, kami justru terjebak di sini?

"Yang lain udah pulang semua?" kataku karena benar-benar tidak melihat siapa pun di sini selain kami.

Dia mengangguk.

"Seharusnya enggak apa-apa. Biar aja Nuri bangunin aku. Kan, biar kamu juga enggak perlu tunggu di sini."

Omong-omong, kalau dia tunggu di sini, bagaimana pacarnya? Kan, dia harus antar pulang pacarnya itu.

"Jihan udah diantar Rashaka."

O, o. Aku lupa. Dia ini manusia yang bisa membaca apa yang melintas di otakku.

Aku beranjak untuk melihat hujan dari jendela di sisi kanan. Sangat deras bahkan gemuruh petir terdengar. Alih-alih harus pulang sekarang, itu tidak mungkin. Mendung tebal pun masih menghias langit pukul ... pukul berapa sekarang?

Kutengok jam dinding di atas papan tulis. Masih pukul tiga sore? Wah, hujannya tidak akan lekas berhenti kalau mendungnya masih setebal ini.

Di antara deras yang berisik, aku bisa mendengar nyanyian yang pasti berasal dari ruang paduan suara. Anak-anak band sekolah ini mungkin masih di sana untuk menjajal alat musik baru. Syukurlah. Berarti, bukan cuma kami yang masih di sini.

"Aku jadi enggak enak sama Jihan. Seharusnya dia pulang diantar sama pacarnya, malah diantar Rashaka." Aku masih memfokuskan pandangan ke deras yang meluncur melewati genting. Basah di mana-mana. Bahkan, beberapa genangan tampak tinggi. Sepertinya, hujan turun sudah lumayan lama.

"Apa kamu punya hubungan serius sama Rashaka?"

Eh? Lah, kok arahnya ke sana?

"Kenapa kamu tanya itu?"

"Kalian tampak akrab di beberapa kesempatan. Aku pikir kalian sudah ...."

"Kami tidak seperti itu. Kamu sudah pernah dengar sendiri kalau aku tidak akan memikirkan hal-hal romansa saat masih sekolah, 'kan?" Aku menengok kepadanya yang sudah berdiri di belakang, sekitar satu meter.

Diam. Hening menjadi kuasa di antara kami selama beberapa menit. Aku kembali menonton hujan. Derasnya makin jadi. Lagi-lagi aku harus terjebak di sini.

"Aku minta maaf."

Maaf kesekian darinya. Aku saja tidak pernah men-judge apa yang dia lakukan adalah salah, tetapi selalu seperti ini. Dengan sendirinya dia meminta maaf dan itu yang justru membuatku semakin patah.

"Enggak ada yang bisa mencegah kalau hati sudah memilih, Ga. Tolong, jangan sering-sering minta maaf kepadaku karena kamu enggak salah apa pun."

Siapa yang menyalahkan Raga karena keadaan ini? Kalian tidak berhak menilai bahwa apa yang Raga lakukan adalah kesalahan. Hatinya lebih tahu ke mana rasa suka itu dilabuhkan. Masa iya kalian mau menyalahkan orang yang menemukan cintanya? 

Ada yang Memang Sulit DilupakanWhere stories live. Discover now