Momen Kedua Puluh Tujuh

34 10 9
                                    

Aku berbohong kepada diriku sendiri agar retak yang muncul tidak mencipta patah.
***

Satu mandat selesai. Novel duet yang kami kerjakan berhasil selesai bahkan sebelum ulangan umum semester ganjil. Hasilnya sudah kukirim ke Kak Rosiana, Pak Abimana, dan Kak Reksa untuk mereka evaluasi sebelum benar-benar dikirim ke panitia.

"Udah bagus, Tha, Sha. Ini keren parah, sih. Pak Abimana enggak akan nyesel udah nunjuk kalian untuk ngerjain mandat ini." Begitu puji Kak Rosiana. Sepertinya, gadis ini sudah selesai mengevaluasi novel tersebut.

"Satu suara sama Oci. Kalian keren. Enggak cuma dari segi isi, ide, tetapi teknik menulis dan kerapian PUEBI-KBBI pun okeh. Suatu hari nanti, mungkin kalian bisa jadi penulis hebat." Itu pujian yang dilontarkan Kak Reksa.

"Bapak setuju."

Kami menoleh ke pintu karena mendengar suara Pak Abimana.

"Bapak sudah baca sampai ending dan itu good banget. Nanti Bapak bikinkan kata pengantar sebagai pelengkap. Setelah itu, kalian sudah bisa kirim naskahnya ke pihak panitia."

Aku benar-benar lega. Tidak sia-sia setiap istirahat aku mengasingkan diri ke Mading untuk mengetik. Tidak sia-sia ribut dan mempertahankan ego agar Rashaka menyetujui masukanku.

Sekarang, tinggal fokus mempelajari soal-soal OSK. Usai ulangan umum semester ganjil nanti akan diadakan evaluasi hasil bimbingan dengan guru untuk tahap pertama. Setidaknya, soal yang diberikan masih dibuat oleh guru sekolah sini. Artinya, masih bisa kulalui dengan cukup mudah.

Ah, ya. Aku lupa satu tantangan lagi. Persiapan untuk Porseni. Tentu saja anak kelas XI IPA 2 akan menyuruhku mengambil porsi di bagian lomba menyanyi duet. Beberapa hari belakangan pun aku sudah mencoba mendengarkan lagunya untuk menghafal lirik, meski aku belum bilang ke Raga untuk menyanyikan lagu ini saat Porseni nanti. Raga sendiri tidak tahu tentang tantangan Kak Reksa. Ya, tidak perlu tahu juga. Buat apa? Tidak ada pengaruhnya untuk kami. Aku tidak akan kalah begitu saja oleh tantangan ini.

***

"Jadi, kalian mau nyanyi lagu apa nanti?" tanya Akmal selaku ketua murid (lagi) saat mulai mendata siapa saja yang akan berpartisipasi dalam Porseni, sambil memandang bergantian kepadaku dan Raga.

Kami sedang berkumpul di belakang kelas untuk merundingkannya. Ulangan umum semester ganjil telah usai, baru saja, pada hari ini. Sebelum pulang, Akmal meminta kami untuk berkumpul di kelas XI IPA 2 terkait siapa saja yang bersedia dikirim untuk memperjuangkan hadiah Porseni.

"Aku ada beberapa judul lagu duet, nih. Gimana kalau--"

"Lagunya Afgan featuring Nagita Slavina. Yang Kutahu Cinta Itu Indah." Aku memotong ucapan Tiana.

Semua tatapan langsung menghunjam kepadaku. Kenapa?

"Yakin mau lagu itu?" Dei memandangku sangsi.

Aku mengangguk mantap.

"Enggak bakalan nangis, 'kan?" Dwi kali ini yang menyangsikan kesanggupanku.

"Apaan, sih, kalian? Itu, kan, cuma lagu. Ya kali aku nangis gara-gara nyanyi." Sok jumawa sekali Anda, Nona Talitha.

"Ya, kita lihat aja eksekusinya bagaimana." Nuri menyahut dengan tatapan sinis. Anak ini masih tidak rela kalau aku baik-baik saja dengan semua yang terjadi belakangan.

"Kalau dicoba dulu sekarang, gimana?" Rashaka mengide.

"Wah, boleh-boleh. Meski aku udah lihat, sering malah, kalian duet, aku tetep exited lihat penampilan kalian." Anindya begitu bersemangat.

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang