Momen Keenam

49 12 9
                                    

Dekat bukan berarti dapat. Saling memahami bukan berarti dapat memiliki. Kadang hidup begitu, 'kan?

***

Bapak sedang di rumah. Beliau juga memergokiku diantar pulang Raga. Namun, tidak langsung menuduh jika aku dan Raga memiliki hal spesial. Beliau bukan tipikal orang tua yang galak. Tegas iya, tetapi bukan berarti memberi batasan berlebih kepada anak-anaknya dengan siapa saja mereka berteman.

Seperti biasa, jika Bapak di rumah, maka kami harus makan bersama. Tidak seperti keluarga lain yang memiliki meja makan, kami hanya lesehan sepanjang menikmati masakan Ibu yang nikmatnya tiada tanding. Untukku, masakan Ibu selalu nomor satu. Demi menghormati kepulangan Bapak, menu malam ini lumayan mewah: ayam bakar, lalap kol dan kemangi dari hasil kebun, tidak lupa sambal tomat yang tidak terlalu pedas. Bapak kurang doyan pedas, jadi Ibu tidak bisa mengulek lebih banyak rawit.

"Pak, Pak. Mbak Tha punya pacar, tuh!" Suara aduan datang dari Tegar.

"Semenjak Mbak Tha SMA, pulangnya dianter mulu, Pak." Si Isma ikut menambahi.

Kedua adikku punya dendam apa sampai memfitnah begitu?

"Bapak enggak percaya kalau Mbak Tha sampai melanggar janji." Pembelaan Bapak cukup membuatku menjulurkan lidah kepada dua krucil kurang ajar itu ketika meletakkan satu baskom lalapan.

"Makanya, kalau enggak tau enggak usah fitnah," semburku lalu kembali ke dapur untuk membuat teh tawar hangat.

"Kalau bukan pacar, apa namanya coba? Masa tiap hari dianter pulang mulu?" Tegar yang masih SD kelas 5 mulai sok pinter.

"Ya, siapa tahu mereka memang searah, 'kan? Kasihan lihat Mbak Tha pulangnya jalan kaki." Kali ini Ibu yang membela.

Yes! Kedua malaikatku memang yang terbaik.

"Ah, tetep. Tegar enggak percaya."

"Enggak ada yang minta kamu percaya." Aku menyahut setelah meletakkan teh tawar hangat untuk Bapak.

Sementara Tegar mencebik karena alibinya terpatahkan. Meski aku yakin, saat tidak dengan adik-adik kurang binaan ini, Bapak pun akan menginterogasi. Pasalnya, sejak dulu beliau tahu kalau aku paling susah untuk dekat dengan cowok. Makanya, beliau selalu percaya kalau sang sulung ini tidak akan macam-macam.

"Tegar dan Isma enggak macam-macam kalau di sekolah, 'kan?" Kali ini, Bapak yang menodong kedua anak itu.

"Ya, enggaklah, Pak. Aman kalau aku, sih!" Isma menyahut di tengah suapan.

"Tegar aman, dong." Begitu percaya diri Si Bontot menjawab.

"Bagus. Itu baru anak-anak Bapak dan Ibu." Karena tidak bisa mengelus kepala satu per satu yang dipuji akibat tangan Bapak bekas sambal, beliau hanya mengacungkan jempol.

Selesai makan, Bapak dan Ibu melipir ke ruang tamu. Keduanya duduk di kursi karet yang sudah mulai rusak. Entah membahas apa. Sementara itu, Tegar dan Isma kebagian mencuci piring dan aku memberesi ruang keluarga yang dipakai makan tadi: menyapu dan mengelap kalau-kalau ada yang tertumpah tanpa sadar.

Setelah semua beres, Tegar dan Isma masuk ke kamar masing-masing. Ibu beranjak ke belakang untuk merendam pakaian agar besok pagi lebih mudah dicuci. Bapak masih duduk di ruang tamu.

"Sekolah lancar, Nduk?" Pertanyaan Bapak menghentikan langkahku yang ingin masuk ke kamar. Ruang tamu memang berhadapan dengan kamarku.

Kalau Bapak sudah memulai dengan pertanyaan, artinya beliau ingin ditemani mengobrol. Aku pun urung masuk dan memilih duduk di kursi seberang Bapak.

Ada yang Memang Sulit DilupakanHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin