Chapter 30: Dua Puluh Empat

71 0 0
                                    

#Readers... Akhirnya sampai penghujung cerita yang aku tulis. Smoga masih ikutin sampe akhir ya. Gumawooo :)

Hari ini adalah hari ulang tahun Dhiya yang ke-24. Hari besar bagi gadis itu sesuai tradisi keluarga besar Simbah Marsudirini telah mentas. Dhiya tak ingin ada perayaan khusus di rumahnya hari ini. Dia hanya menginginkan merayakan secara sederhana bersama Bayu. Lagipula hari ini hari kerja jadi Dhiya ada alasan tak berada di rumah di hari ulang tahunnya.

Pagi-pagi Bulik Sum sudah datang dan mengajak ngobrol sang ibu.

"Bu, Dhiya ga cuti hari ini?"tanyanya dengan nada kecewa.

"Dhiya itu lagi sibuk akhir-akhir ini. Katanya proyeknya bikin mall di Solo."jawab Simbah santai.

"Tapi kan ini ulang tahun ke-24, Bu. Penting. Apalagi kalo bukan persiapan Dhiya berumah tangga. Pacarnya itu ga akan berlama-lama nunda lamaran kan?"Bulik Sum masih ngotot.

Simbah menghela napas. Sebenarnya sejak merawat cucunya itu, tradisi menikah sebelum 24 tahun sudah disingkirkan jauh oleh Mbah Mar. Beliau merasa sayang jika harus cepat-cepat melepas cucunya itu pada orang lain. Mbah Mar tidak menyalahkan Sumiyanti, anak bungsunya, yang masih kekeuh memegang prinsip yang dulu kental di keluarga besarnya.

"Sum, biarkan saja anak muda seperti mereka menjalani hidupnya. Jodoh itu di tangan Tuhan. Ga bisa dipaksakan harus sesuai rencana manusia seperti kita."kata Simbah bijak.

Bulik Sum duduk dalam diam. Sepertinya dia merasa ada kejanggalan dari ucapan ibunya.

"Bu, kalo sampai usia Dhiya 25 tahun dan Bayu belum juga melamar, kita harus kasih bantu bujukan. Atau Ibu mau Dhiya melajang lebih lama trus nanti jangan-jangan..."

"Hush... Sum, ucapan itu bisa jadi doa. Ati-ati kalo ngomong. Jangan sampai ucapan kita jadi kenyataan."potong Simbah cepat. 

Bulik Sum menutup mulutnya dengan telapak tangan dan menampakkan ekspresi syok.

"Ya ampun, Bu. Aku ini ga mikir sampai sana. Duh Gusti, semoga kali ini adalah awal yang baik buat Dhiya."ucap Bulik Sum yang ditanggapi anggukan setuju dari ibunya.

Sementara itu di kantor, rekan-rekan Dhiya menyiapkan kejutan kue ulang tahun. Dhiya sangat senang dengan perhatian rekan-rekannya ini, sampai-sampai menangis haru.

Hari ini Dhiya belum ketemu Bayu. Hanya sebuah pesan singkat di ponselnya pagi tadi dari Bayu yang mengabarkan dia masih ada di Bandung. Dhiya merasa kecewa tapi tak bisa menyalahkan Bayu juga yang ternyata harus ketemu klien di Bandung bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Dhiya kecewa Bayu juga belum mengucapkan selamat atas pertambahan usianya ini.

24.

Ya, 24 Tahun.

Usia yang selama ini membuat Dhiya tertekan karena tradisi keluarga besar Simbah. Namun Dhiya bisa merasakan kalo Simbah tidak pernah menuntutnya untuk segera menikah meskipun usianya telah menginjak 21, 22, dan 23 tahun. Tak ada ucapan Simbah yang memberikan titah kepadanya untuk menikah minggu depan, bulan depan, atau besok. Justru Bulik Sum yang selalu menggebu memintanya mengakhiri masa lajang secepatnya, bahkan beberapa bulan ini selalu mengungkit usia 24 yang akan dijelangnya. Bulik Sum melakukan itu bukan tanpa sebab, pastinya karena Dhiya sekarang punya pacar.

"Semoga Simbah sudah melupakan tradisi konyol itu dan hanya mendoakan yang terbaik untukku."batin Dhiya sambil menikmati sepotong kue ulang tahun dari para rekan kerja.

"Kamu ga kencan nih?"suara Dara membuyarkan lamunan Dhiya.

"Lagi ke Bandung"jawab Dhiya lesu. 

Dara menepuk-nepuk bahunya.

"Sabar... demi masa depan cerah kan?"kata Dara lagi sambil menunjuk cincin di jari manis Dhiya.

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now