Chapter 12: Rasa Yang Berbeda

38 1 0
                                    

#chapter ini rasanya panjang banget... Happy reading ya. Jangan lupa vote nya biar author bahagia :)

"Lega kan?" Windu meneguk es teh dan mengulas senyum. Kami duduk di teras rumahnya. Siang itu aku datang untuk sekedar berbagi pengalamanku kemarin sore. Sebenarnya lebih seperti melaporkan hasil kerjaku.

"Iya, udah ga ada lagi ganjalan."jawabku mantap.

"Jangan senang dulu. Bulik masih nunggu loh. 4 bulan lagi, Dhi."

Kadang aku sebal sama Windu. Dia sering banget mengungkapkan kebenaran di saat yang ga tepat. Padahal sekarang aku lagi ingin menikmati kebebasan ini. Rasa bebas tanpa beban.

"Iya tahu.."gerutuku.

"hahaha... jangan ngambek dong. Aku pasti bantu kamu mikirin cara yang bagus buat menghindar." Windu tak patah arang.

"Cara termudah sih ya cari pasangan sekarang. Mumpung masih ada waktu 4 bulanan."

Aku menyipitkan mata. "Termudah? Yakin?"

Windu mengaduk es tehnya dan berdiri tiba-tiba, membuatku kaget.

"Oh!! Kan masih ada Mas Da... Mas siapa itu?" Windu balik duduk di kursinya karena tiba-tiba amnesia.

"Danar"jawabku.

"Nah iya, itu... Kan orangnya lumayan dewasa, sopan, pastinya juga baik kan orangnya?" cerocos Windu.

Kuhela napas. Kenapa sempit banget sih ruang gerakku? Apa tak ada cara lain selain punya pasangan?

"Aku pengen cara lain aja, Win. Aku bener-bener belum ada keinginan menjalin hubungan dengan cowok sekarang. Aku belum bisa membagi waktu untuk pacar nomor 1 ku." Jawabku malas.

"Ish... karir sih bisa diusahakan nanti. Malahan kalo kamu punya pasangan kan bakalan ada yang kasih semangat tuh."bujukan Windu kali ini membuatku agak memikirkannya.

Kubayangkan seseorang yang akan memahami pekerjaanku, memahami aku juga tentunya. Aku bukan orang yang berambisi kuat seperti Bayu. Aku hanya ingin mendapatkan penghargaan arsitektur bertaraf nasional sekali saja seumur hidup, syukur-syukur bisa dapat yang taraf internasional. Setelah itu, berharap saja aku bisa mendirikan perusahaanku sendiri.

"Aku belum menemukan aja, Win." Jawabku kemudian.

Windu mengangguk. "Pasti ada saatnya, Dhi."

POV Danar

Selama 3 hari ini aku belum dapat kesempatan bicara dengan Dhiya. Apa kabarnya gadis itu? Aku menggoreskan pensilku membuat sketsa kasar beberapa bentuk kaki meja yang mungkin lebih cocok untuk si meja. Kulihat ukiran kaki meja itu memang indah, menunjukkan keningratan, tapi secara fungsi kurang kokoh. Kupikir nanti jika ketemu Dhiya aku jadi punya bahan obrolan. Dhiya seorang arsitek, tentunya dia juga sudah biasa kerja sama dengan interior desainer. Aku yakin kalo aku mengungkapkan ide, dia akan bisa satu frekuensi denganku saat ngobrol.

Tadi siang aku sudah mengutarakan masukan untuk perbaikan meja makan itu ke Simbah dan untungnya jawaban Simbah mendukung niatku. Simbah menyuruhku menanyakannya pada Dhiya.

Yess!!

"Nak, sudah mau jadi ya? Kayunya jati tua kan Nak?"tiba-tiba dari belakangku muncul Bulik Sum. Wanita ini kulihat sering dating. Ya maklum aja sih, rumahnya berjejeran dengan ibunya, tentunya bisa tiap hari nengok orang tua satu-satunya ini.

"Iya, Bulik. Tinggal ukiran aja yang harus saya sesuaikan dengan bentuk kaki mejanya."jawabku sambil menunjuk kayu yang belum kubentuk.

"Nak, kamu kan masih muda. Kapan melepas lajang?"pertanyaan Bulik ini membuatku hanya senyum-senyum.

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now