Chapter 17: Batasan Itu Ada

27 0 0
                                    

#Ga bosen-bosen ingetin nih, Readers... Follow n Vote yaaa. Gumawoo :)

Dua kali sudah kami makan siang di luar Bersama. Apa itu dihitung kencan? Entahlah. Kami hanya mengobrol biasa. Tak ada yang istimewa dalam obrolan kami. Hanya membicarakan hal yang sama-sama kami sukai.

Apakah itu artinya aku semakin serakah?

Apa sih yang kuharapkan dalam waktu singkat?

Mas Danar orang yang dapat membuatku menceritakan berbagai hal. Tapi bukan sampai hal pribadi. Dia pendengar yang baik dan orang yang sabar dengan aku yang lumayan bawel. Dia tipe yang akan bisa mengalah. Dia juga antusias saat membicarakan desain, seni, bahkan arsitektur bangunan.

Sampai disini aku mencoba memilah. Cocokkah kami?

Apa dari sederet kebaikannya itu sudah dapat meyakinku?

Janji ketemu kami susul menyusul setelah 2 kali makan bersama itu. Sekedar bertemu dan ngobrol. Sekedar berbicara di telepon atau hanya saling berkirim pesan.

Belum lama. Masih terlalu dini. Itu yang ada di pikiranku.

Malam itu kami memutuskan berjalan-jalan ke Malioboro. Hanya sekedar untuk menikmati suasana malam kota Jogja. Sederhana saja. Setelah Lelah menyusuri jalan Malioboro, kami memutuskan makan di deretan tempat makan Alun-alun Kidul Keraton.

Suasana malam memang menyenangkan. Kami mengobrol banyak hal. Kadang kami tertawa bersama, saling bercanda.

"Mas Danar?"tiba-tiba suara seorang Wanita menghentikan obrolan kami berdua. Aku menengok ke arah suara hampir bersamaan dengan Mas Danar.

"Tania?"Mas Danar menyebutkan nama Wanita cantik itu. Aku memandangnya tanpa kedip.

Siapa... Ada sesuatu yang mengusik.

"Tumben main malam, Mas?"tanyanya lagi dan mendekat ke arah kami. Mas Danar bangkit dari duduk.

"Iya, lagi pengen aja. Oh iya, ini kenalkan." Mas Danar meraih pundakku. Aku maju selangkah.

Sekarang aku berhadapan dengan 'Tania' ini.

"Tania"dia mengulurkan tangan, mengajak berjabat. Aku menyambut tangannya.

"Dhiya"jawabku.

"Eh maaf ya jadi mengganggu kencannya."Tania tampak canggung saat menatapku dan Mas Danar yang berdiri berdampingan.

Bibirku bergerak hendak mengucap sesuatu, tapi terhenti oleh ucapan Mas Danar.

"Enggak kok. Mau gabung? Sesama teman kan ga usah sungkan."

Apa? Sesama teman?

Hatiku mencelos... kecewa? Iya. Salahku juga sih banyak berharap.

Malam itu kami duduk bertiga, mengobrol. Bukan. Bukan ngobrol bertiga, hanya mereka berdua. Aku hanya sesekali menjawab pertanyaan Mas Danar.

Kurebahkan badanku di ranjang. Penat ini bukan penat badan, tapi penat hati.

Teman ya? Oke. Baiklah, Dhiya. Kamu hanya temannya aja. Jangan suka halu deh.

Kubanting bantal ke lantai dan mencoba melupakan kata-kata Mas Danar itu.

"Sesama teman kan ga usah sungkan"

Suara Mas Danar dan kalimatnya itu terus terngiang.

"Menyebalkan!!"kataku sambil menghentakkan tangan ke ranjang dan menendang udara.

Tiba-tiba saja wajah Bayu dengan senyuman hangatnya terbayang di benakku.

"Dia sudah jauh... tak terjangkau."gumamku lirih, setitik air mata menyembul di sudut mataku.

"Stop! Gak boleh cengeng! Jangan jadi beban siapapun!" cepat-cepat kuhapus air bening itu.

Aku duduk dan memandangi ponselku. Kenapa tiba-tiba jadi ingin menemui mantan?

"Kamu aneh, Dhiya!"gumamku pada diri sendiri.

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now