Chapter 11: Keputusanku

35 0 0
                                    

Café itu masih lengang. Kumainkan cangkir kopi di depanku. Kuputar sedikit ke kanan dan ke kiri.

"Maaf, Dhi, aku telat ya?" Suara Reza dengan napas memburu membuatku mendongak.

Aku hanya tersenyum.

"Enggak kok. Aku aja yang maksa janjian jam segini."

Aku menelepon Reza siang tadi untuk janjian temu pukul 4 sore di Café Bentangan. Cafenya tak jauh dari rumah. Aku sebenarnya tahu Reza ada temu klien sampai jam setengah 3, makanya aku minta waktunya dari jam 4.

"Tadi kliennya suka ngobrol jadinya molor gitu."

Reza menjelaskan sambil menempatkan diri di kursi. Sekarang kami berhadap-hadapan. Jantungku berdebar. Gugup dan seperti ada beban berat menindihku. Membuatku agak sulit bernapas normal.

"Iya gak papa, Za. Kamu mau minum apa?" aku berusaha mencairkan suasana percakapan kami yang agak canggung itu.

Setelah minuman Reza diantarkan oleh pelayan café, kami mulai membicarakan hal yang serius.

"Reza, aku hanya berharap di antara kita tidak ada yang akan berubah setelah aku sampaikan keputusanku." Aku menatap Reza yang tak bisa menyembunyikan kegelisahannya.

"Aku akan terima apapun keputusanmu, Dhi. Aku siap." Jawabnya mantap.

Kuhirup napas dalam, berusaha menormalkan napasku lagi.

"Reza, kita udah lama saling kenal, aku sangat berterimakasih atas semua kebaikanmu padaku. Kamu selalu ada saat aku butuh teman. Aku mengakuinya sekarang, aku ini orang yang naif. Aku selalu menganggap persahabatan kita murni, tanpa ada perasaan lain."

Kembali kuhirup oksigen. Berat sekali mengatakannya.

"Aku minta maaf, selama ini aku sering tidak mempertimbangkan perasaanmu. Seperti saat ini, karena aku benar-benar ingin jujur padamu, bahwa perasaanku padamu hanya sebatas sahabat, teman baik, adik yang sayang kakaknya. Hanya itu, Za. Aku ga bisa lebih dari itu. Maaf."

Aku menunduk. Rasanya sulit untuk mengatakan maaf dengan menatap wajah Reza. Pasti raut muka kesedihan yang akan aku lihat.

"Dhi, ga papa. Lihat aku."pintanya lembut.

Kudongakkan wajahku, kuberanikan menatap mata Reza.

"Maaf, Za." Sekali lagi kuucapkan. Kali ini dengan menatap lurus ke mata Reza.

Senyum Reza mengembang. Terlihat kegetiran di sana. Aku tahu dia sangat kecewa dengan keputusanku ini.

"Oke, Dhi. Terimakasih sudah memikirkan aku. Aku sebenarnya tahu perasaanmu padaku. Tapi jika aku tidak mendengarnya langsung, rasanya aku akan tetap menipu diri mengatakan ada harapan. Akan ada saatnya hatimu luluh."

Butiran bening menetes di jemariku. Cepat-cepat kutundukkan wajah.

"Perasaanmu sangat halus, Dhiya. Aku tahu. Makanya aku mempertimbangkan dengan hati-hati apakah akan mengatakannya atau tidak. Aku sungguh tidak bisa lagi menipu diri dengan harapan-harapan itu. Makanya tadi aku bilang, aku siap apapun keputusanmu. Aku butuh bantuanmu soal membuatku menyerah." Reza mengulas senyum dan tangannya menepuk punggung tanganku lembut.

"Jangan merasa bersalah ya? Oke?"

Aku menatap Reza beberapa saat, lalu mengangguk.

"Kita..." aku tak meneruskan kata-kataku. Aku merasa tak pantas menanyakan apakah aku masih bisa menjadi teman baiknya seperti selama 5 tahun ini. Lidahku kelu. Kata-kata itu tertahan.

Reza mengambil tanganku dan menjabatnya.

"Kita teman baik, selamanya."

Aku menangis lega mendengar kata-kata Reza.

"Trimakasih, Za. Kamu emang yang terbaik."

Reza tersenyum dan menyodorkan kotak tisu ke arahku.

Senja itu terasa hangat kembali, bersamaan dengan terlepasnya beban berat yang tadinya terasa menyesakkan dada. Reza melontarkan beberapa lelucon agar aku Kembali tersenyum, seperti biasa lagi. Saling menghibur, saling menguatkan.


#Update di hari minggu cerah, habis olahraga, habis hirup udara segar... 

Happy reading :)

Vote yaaa.

Dua Puluh Empat [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin