Chapter 16: Alasan Ketemu

30 1 0
                                    

#Follow dan Vote ya... semoga bisa maraton terus updatenya. Happy reading :)

POV Danar

Pagi itu aku bangun dan dengan segera kuraih ponsel untuk melihat apakah ada pesan baru. Mataku langsung segar begitu melihat nama pengirim pesan. Dhiya!

"Cafe Arion?"gumamku. Sepertinya aku tahu café itu, beberapa kali aku lewat Kawasan perkantoran dan ruko, di sana ada sebuah café tak jauh dari kompleks itu. Bercat merah bata.

Dhiya menerima ajakanku, apakah artinya aku boleh punya harapan gadis itu mau lebih dekat denganku?

Aku belum mau berpikir banyak. Harapan yang terlalu tinggi akan menyakitkan nanti jika tak seindah bayangan. Aku juga sadar diri, modalku minim untuk mendekati gadis itu. Kami mungkin harus berjalan pelan untuk sampai ke tahap saling mengungkap cinta.

POV Dhiya

Aku termenung sejenak saat melihat jam dinding di ruang kerjaku. 11.40.

"Lambat banget, sih."gerutuku.

Kalo berpikir kembali, bisa mengenal lebih jauh Mas Danar sekarang ini ada andil dari Bulik Sum. Memang waktu itu aku marah karena promosinya memalukan. Tapi, jika tidak ada kejadian itu mungkin juga aku tak akan memperhatikan Mas Danar.

"Hey... !" tepukan Pak Bram membuatku tersentak kaget.

"Wah, wah, jam segini dah ngelamun aja, Udah lapar?"godanya.

"Enggak pak. Lagi mikirin ide aja."kilahku.

Pak Bram manggut-manggut. "Oke... bagus! Lanjutkan!"

Dia pun berlalu ke dalam ruangannya.

Aku pun mencubit tanganku sendiri

"Sadar! Ayo fokus kerja! Proyek baru!"kataku dalam hati dan cukup membuatku Kembali bersemangat.

Denting ponsel membuat aktivitasku terhenti. Kulihat di layar ponsel pukul 12.08 dan juga muncul pesan dari Mas Danar.

--Aku udah di café. Meja dekat jendela, dari pintu masuk ke kanan. Pojok ya. He he.

Aku tersenyum membaca pesannya. Rupanya dia sudah mau melepas jaimnya.

--Oke. Aku kesana, Mas

Balasan sudah kukirimkan. Aku menyambar tas kecil berisi dompet dan bergegas keluar ruangan setelah sebelumnya pamit pada Reza.

Aku berjalan sekitar 5 menit dan sudah sampai di depan pintu café. Kudorong pintu, melangkah masuk, dan kuedarkan pandangan. Benar saja, Mas Danar ada di pojok café, menikmati es kopinya. Dia melambai padaku saat tahu aku sudah sampai.

Aku berjalan menghampirinya dan duduk berhadapan dengannya.

"Pesan aja dulu."Mas Danar menyodorkan buku menu. Aku menerimanya dan langsung memutuskan apa yang ingin kusantap hari ini.

"Mas Danar udah pesan?"tanyaku saat pelayan café menghampiri kami.

"Sama aja denganmu."jawab Mas Danar.

"Ga kreatif. Ikut-ikutan."candaku. Mas Danar hanya tertawa.

Setelah selesai memesan dan si pelayan pergi. Mas Danar memulai perbincangan.

"Istirahat siangnya sampai jam berapa?"

"Jam 1 Mas. Tapi kalo mau lebih gak masalah asal ngomong sama boss."jawabku santai.

"Mas Danar kuliah jurusan desain interior?"sambungku yang memang dari kemarin penasaran.

"Iya, tapi malah jadi tukang kayu."jawabnya sambil tertawa.

"Tapi ga jauh-jauh sih dari ilmu desain. Bukannya masih ngurusin furniture juga. Merancang juga kan?"

Mas Danar tak segera menjawab, karena pelayan mengantarkan pesanan kami. Segelas jus Mangga dan 2 piring ayam katsu selesai dihidangkan olehnya.

"Iya, kadang-kadang. Aku bikin buat sendiri. Bukan pesanan klien."jawabnya setelah pelayan pergi.

"Masih bagus kalo gitu. Kapan-kapan Dhiya mau lihat rancangannya dong. Siapa tahu ada yang bisa dimasukkan ke proyek Dhiya."kataku sambil mulai memotong ayam katsu di piring.

"Hmmm... boleh aja."jawab Mas Danar.

Dan kamipun makan dan ngobrol dengan santai sepanjang siang itu. Tak lama, jam 1 pas aku udah di ruanganku lagi.

"Tumben cepet. Biasanya kan kalo cewek ketemuan tuh lupa waktu."kata Reza begitu melihatku sudah kembali.

"Oh, kan masih ada urusan lain, Za. Ga bisa lama-lama."jawabku. Aku sengaja tak mengatakan dengan siapa aku makan siang. Dan dari komentar Reza, bisa ditebak Reza mengira aku makan siang dengan Windu.

Denting ponsel membuatku mengalihkan pandangan.

Mas Danar?

Buru-buru kubuka pesannya.

--Makasih ya udah diajak makan. Lain kali lagi, boleh? Lain kali aku mau ditraktir.

Rasa hangat menelusup dadaku. Bahagiaku sekarang kok sesederhana ini. Diajak makan aja sebahagia ini.

--Aku yang harusnya bilang makasih. Kan udah ditraktir. Aku siap nraktir deh.

Senyum mengembang saat tombol kirim kutekan.

"Lagi hepi ni?"sergah Mba Puspa, rekan kerjaku.

"Hehe... Biasa aja, Mba. Udah kenyang soalnya."jawabku menutupi rasa dalam dada yang meledak-ledak ini.

Kali ini alasan ngajak makan bareng karena minta traktir? Ada-ada aja deh. 

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now