Chapter 6: Harapan

46 0 0
                                    

"Beneran bisa, Ndhuk?" tanya Simbah ragu. Aku mengangguk mantap dan senyuman Simbah mengembang.

Aku baru saja menceritakan perihal Mas Danar pada Simbah, termasuk syarat dan ketentuan berlaku, yaitu kalau mau jasa reparasi Mas Danar, maka sabar mengantri. Tapi tampaknya embel-embel syarat dan ketentuan berlaku itu tidak terlalu dipikirkan Simbah. Tampaknya Simbah lebih bersyukur bahwa meja peninggalan leluhur bisa diperbaiki.

"Dhiya mandi dulu ya, Mbah" aku pamit masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Simbah sendirian duduk di teras pendopo sambil menikmati tehnya. Simbah tersenyum mengangguk.

Hari-hari berikutnya Simbah semakin sumringah. Penantian sebulan memang tak lama, tapi bagi orang yang punya harapan besar pastinya jadi berasa lama dan membosankan. Untungnya Simbah tak begitu, beliau memang ada kesibukan meskipun usia sudah senja. Beliau suka sekali memasak dan merawat tanaman. Semua kesibukan itu tentunya sangat membantunya melupakan masa-masa penantian yang Panjang.

Malam itu Reza menelponku, mengabarkan besok ada survey lokasi dengannya jam 10 pagi di daerah Imogiri.

"Besok bawa mobilku aja, aku jemput."kata Reza.

Kupikir karena jarak yang hampir 18 km, maka kuiyakan ajakan Reza.

Cericit burung pagi itu memberikan suasana ceria. Simbah tak lagi murung karena adanya harapan meja makan kesayangannya bakalan diperbaiki tak kurang dari dua minggu lagi. Setelah mandi dan sarapan, aku pamit pada Simbah berangkat ke Imogiri untuk survey lokasi proyek baru dengan Reza.

Simbah sudah cukup lama mengenal Reza, jadi bagi beliau tak masalah aku berdua saja naik mobil pergi ke Imogiri. Reza memang baik, anaknya juga sopan dan tahu cara bicara manis ke orang yang lebih tua. Dia juga pandai bergaul dengan siapa saja, dari mandor, tukang, bos material, bos angkut, bahkan anak-anak. Makanya aku tak heran dia bisa kenal tukang reparasi meubel antik.

Perjalanan ke Imogiri sekitar 30 menitan kami tempuh dengan kecepatan sedang. Tak ada yang buru-buru sih, tapi rasa penasaran yang mendorong kesabaranku hingga limit. Selain itu juga gara-gara spoiler yang diinfokan Reza.

"Udah denger dari Mr. Bromax kalo proyek ini istimewa?"kata Reza sambil tersenyum kecil.

"Apa tuh?" tanyaku buru-buru.

"hmmm... jadi belum tahu ya."godanya.

"Cepetan kasih tahu"rengekku.

"Desainnya minta yang antik, arsitektur ala keraton"jawab Reza sambil membelokkan mobil ke arah Bantul.

"Hah?!"

Kaget? Tentulah, secara usia kami berdua tak kompeten membuat desain bangunan seperti itu. Kami berdua terbiasa mendesain bangunan modern. Entah kenapa Mr. Bromax berani mengambil risiko menerima proyek yang jelas-jelas akan menguras banyak tenaga kami mencari referensi.

Kuhela napasku pelan. Reza menatapku sejenak.

"Kenapa? Ga pede?"tanyanya seperti tahu apa yang kupikirkan.

"Mana ada kompetensi seperti itu di aku? Aku hanya tahu bangunan modern, bahkan bangunan Eropa yang klasik pun aku ga terlalu yakin dengan rancanganku."jawabku lemas.

"Coba dulu lah, Dhiya... Aku kan juga perlu belajar banyak. Mungkin malah lebih banyak dari kamu."kata Reza berusaha membesarkan hatiku yang menciut. Ciut membayangkan otak kosong tanpa ide berhari-hari yang bakalan terjadi.

"Tahu gitu bukannya kita diajak diskusi detilnya dulu sebelum jawab iya ke klien."gerutuku. Reza hanya tersenyum.

Tak lama kami sampai di lokasi proyek. Sebidang tanah yang menurutku sangat bagus, lahan datar, luasan cukup, lingkungan sekitarnya juga tertata apik. Mungkin karena bekas lingkungan kerajaan makanya sudah tertata dari dulu.

"Jadi gini, Mbak Dhiya... Saya dan keluarga besar maunya ada kenang-kenangan masa lalu disini. Kalo bisa ya ndak usah mewah-mewah, yang penting cukup buat ngenang leluhur aja."logat jawa kental dan suara lembut khas orang ningrat dari Pak Broto, klien kami, seperti membiusku. Aku bingung mau berkata apa karena saat ini otakku serasa kosong.

"Jadi, maunya yang seperti apa, ya, Pak? Pendopo atau bangunan mirip keraton Jogja?"pertanyaan Reza membuyarkanku.

Oh, iya... barulah kuingat bangunan rumah Simbah kan bangunan lawas. Kenapa tak terpikirkan?

"Dasar Dhiya tukang panik"gerutuku dalam hati. Kuulas senyum untuk menenangkan diri.

"Rumah biasa aja, Mas Reza. Satu lantai yang bisa menampung sekitar 10 orang sekali waktu."jawab Pak Broto.

"Apa perlu banyak kamar?"tanyaku yang sudah mulai tenang.

"Mungkin perlu 5 kamar saja, Mbak Dhiya. Ndak usah banyak-banyak, nanti malah jadi kayak hotel."jawab Pak Broto sambil bercanda. Kami tertawa Bersama.

Diskusi kami mengalir begitu saja, selama hampir satu jam. Sambil berbincang, tanganku tak berhenti menggambar sketsa sesuai pesanan Pak Broto.

Sketsa kasarku sudah dapat persetujuan dari Pak Broto, hatiku lega.

"Tinggal cari referensi untuk fasadnya aja kan?"kata Reza sumringah di tengah perjalanan pulang kami.

"Aku masih perlu diskusi dengan Mr. Bromax. Aku perlu ide beliau."jawabku. Kali ini nada bicaraku tenang. Aku sudah bisa menguasai kepanikanku.

Proyek ini membuatku pontang-panting, tapi hasil memang tak pernah menipu proses kerasnya usahaku untuk mewujudkan apa yang ada di kepala orang lain. Dua minggu penuh aku bekerja keras dan sering lembur. Berkat bantuan Mr. Bromax dan rekan-rekan seniornya jugalah desain kami selesai dan berhasil memuaskan Pak Broto.

"Sekali lagi, kita berhasil, Dhiya."tangan Reza terangkat mengajakku salam kemenangan.

"Kita berhasil."jawabku bersemangat menyambut tangannya.


#Yuuuk... semangat! semangat! semangat! Happy reading :)

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now