Chapter 22: Dilema

37 0 0
                                    

# Yuk lanjut teruuus. Semangat! Happy reading :)

Siang itu kami mengobrol hal lain sambil makan siang. Setiap kali Bersama Bayu, aku merasa sangat tenang dan aman. Mungkin karena sudah terbiasa? Atau karena selama ini Bayu tak pernah terlalu memaksaku dengan apapun. Dia sangat menghargaiku.

Mas Danar? Apa dia juga tak menghargaiku?

Aku menimbang dan membandingkan dua lelaki ini. Pilihan yang sulit. Aku tahu Bayu dengan baik, dia sangat berdedikasi. Pada apapun. Masalah kerjaan tak perlu ditanyakan. Padaku? Kalo melihat masa lalu, bisa dikatakan sangat berdedikasi buatku. Boyfriend Material banget. Seandainya kami tak berpisah, mungkin couple goal juga sesuatu yang akan kami rasakan.

Kalo Mas Danar?

Aku baru mengenalnya. Aku terpesona senyumnya. Dia juga memperlakukanku dengan lembut. Hanya kadang tak peka dengan perasaanku. Aku tahu, lelaki seperti ini akan membuatku berkali-kali sakit hati atau menangis kalo aku tak dengan jelas mengungkapkan maksudku. Komunikasi bakal jadi tumpuan utama hubungan dengan Mas Danar.

Bayu?

Pernah dia begitu. Dia pernah menyakitiku, pernah membuatku menangis. Tapi jika ditilik frekuensinya. Aku lebih sering Bahagia bersamanya dibandingkan kesal dan sedihnya.

Jadi, Dhiya, kenapa ragu? Secara logika, Bayu lebih punya banyak keunggulan. Kenapa hatiku masih saja tak mau memutuskan?

Tunggu, Dhiya!

Orang bisa saja berubah kan? Siapa tahu Bayu sudah tak seperti dulu. Siapa tahu dia sudah tak lagi bisa seromantis dulu.

Siapa tahu setelah kenal Mas Danar lebih jauh, kamu lebih cocok dengannya dibanding dengan Bayu.

Uuuugh!! Bikin frustasi.

Windu masih lama pula pulangnya. Sehari lagi. Kenapa waktu berjalan sangat lambat. Besok aku masih ketemu Bayu lagi karena besok saatnya rancangan 3D. Ga mungkin kan menghindarinya saat kami harusnya kerja Bersama.

Bayu sangat professional. Dia tak akan mengungkit soalan kami besok saat kerja kan?

"Kayaknya ga deh", kataku yakin. Tepatnya meyakinkan diri.

Saat pikiranku berpindah-pindah antara Mas Danar dan Bayu, denting ponsel membuatku buyar. Kutatap layar 6 inchi itu dan membaca pesan yang masuk.

--Dhiya, sudah tidur? Selamat istirahat.

Deretan kalimat dari Mas Danar kutatap dengan batin berkecamuk. Apa ini pertanda aku harus kasih kesempatan Mas Danar?

Denting ponsel kembali berbunyi. Kali ini pesan dari Bayu. Kupejamkan mata. Bingung... Kenapa pertandanya sama?

--Dhiya, aku ada masukan sebelum 3D nya kamu finalkan. Aku email ya. Makasih, cantik. Jangan begadang ya. Kerjakan besok aja. Besok aku kayaknya datang telat ya. Ada urusan dengan kantor Amsterdam.

Deretan huruf itu membuatku lega. Bayu memang profesional. Dia juga sangat tenang menghadapi masa penantiannya.

Apa balikan sama mantan itu memalukan?

Tiba-tiba terbersit pikiran gila itu. Malu? Apa aku harus malu? Kalo misal nanti aku lebih memilih Bayu, apa yang aku katakan pada Mas Danar? Apa kami bisa tetap berteman biasa atau harus menjauh sekaligus? Bayu pencemburu, aku tahu itu.

Kalo misal aku milih Mas Danar, apa yang harus kukatakan ke Bayu? Dia udah bela-belain meninggalkan Amsterdam, demi apa? Demi aku kah? Apa jika kutolak dia akan menghilang dari hidupku selamanya?

Tiba-tiba pula rasa takut kehilangan menyerangku.

Aaaakh... aku tak tahu lagi.

"Aku akan memikirkan semua ini setelah ketemu Windu."gumamku pada diriku sendiri.

Kurebahkan tubuhku dan berusaha tidur, sebab besok hari yang berat.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now