Chapter 10: Urusan Hati

39 1 0
                                    

Pagi menjelang, matahari masih malu-malu saat aku buka jendela dan menghirup segarnya udara pagi itu. Kejadian kemarin terus membuatku berpikir keras. Rasanya dalam semalam umurku berkurang banyak.

Kuhela napas berat.

"Dilema ini harus keluar hari ini."tekadku dalam hati.

Kutatap layar ponsel sejenak, lalu kugeser layarnya dan menghubungi Windu.

"Ya, halo?" terdengar suara Windu diseret malas. Sepertinya gadis ini masih setengah tidur.

"Win, aku ke rumahmu sekarang ya?"jawabku cepat.

"Hah? Siapa? Kenapa? Oh, ke rumah? Iya iya sini. Dateng aja." Windu tampak susah payah mengumpulkan nyawanya setelah ditodong.

Tanpa menunggu lagi, kumatikan sambungan telepon dan langsung melesat dengan sepedaku ke rumah Windu.

Karena semalam tak bisa tidur, kuputuskan bangun subuh sekalian mandi pagi-pagi. Berharap otakku akan lebih mudah mencerna soalan dan bisa mengurai keruwetan. Tapi rasanya percuma. Aku tetep butuh windu.

"Win..! Bukain dong."teriakku sambil mengetuk pintu rumah Windu. Ga sopan? Hehe begitulah. Aku udah biasa seperti ini sejak kecil kalo main kemari.

Tampak dari jendela, Windu tergopoh-gopoh menuju pintu. Dari penampilannya yang masih berpiyama, jelas kalo Windu baru saja bangun tidur.

"Iya, iya, bawel banget jadi anak."gerutunya sambil membukakan pintu untukku.

"Apa ni pagi banget? Aku tuh lagi mo bobok cantik weekend. Gangguin aja ni."

Aku tertawa kecil.

"Iya iya... maaf ya Win. Aku beneran ga bisa nahan sampai siang."kataku dengan nada memohon dan wajah memelas.

Windu menepuk kepalaku "Iya, sini, sayang. Ada masalah apa ni?"

Kami berdua masuk ke kamar Windu yang lumayan... berantakan. Windu dengan barbar mendorong berbagai benda di ranjang dan kursi belajarnya. "Duduk."pintanya.

Windu adalah auditor, jadi aku maklum aja di kamarnya banyak kertas dan berkas. Berantakan sudah hal biasa.

Aku memilih duduk di kursi belajarnya menghadap ke Windu yang bersila di atas ranjang.

"Win... Reza..."aku berhenti untuk menghela napas. Mata Windu membulat.

"Yang bener? Trus kamu jawab apa?"

Tuh kan... ahlinya baca pikiran emang Windu.

"Aku bingung, Win. Aku ga mau dia sakit hati kutolak."jawabku pelan, kupandangi jemariku.

"Ya udah, terima aja."timpal Windu.

Kutoyor kepala sahabatku itu, gemas rasanya. Masih ga empati sama sahabat sendiri.

"Ga gitu juga lah, Win. Aku tuh hanya anggap Reza kakak, teman baik, sahabat senasib."jawabku lagi

Windu mengelus-elus kepalanya.

"Aku tanya deh, kalo misal kamu nolak Reza, menurutmu Reza bakal marah, pergi, atau biasa aja?"

Aku berpikir sejenak. Aku kenal banget sama Reza. Dia orang yang bisa dengan mudah berlapang dada menerima hal-hal yang membuatnya sedih. Dulu saat kuliah, Reza pernah gagal mengerjakan tugas penting gara-gara urusan keluarganya. Tapi saat itu dia tidak marah-marah atau ngamuk. Dia hanya diam setengah hari, merenung, terus setelahnya baik lagi. Dia malah berjuang lagi minta dispensasi dosen agar nilainya tidak F.

"Kayaknya sih bakal tenang."jawabku setelah mengingat beberapa kejadian yang mirip dengan kasus tugas kuliah itu.

"Reza kayaknya bakal bisa menerima rasa kecewa ditolak. Tapi aku ga tega, Win." Kuacak-acak rambutku, frustasi.

"Hmmm... iya sih. Aku tahu gimana baiknya Reza ma kamu."Windu terdiam

"Itulah kenapa aku selalu bilang, persahabatan beda jenis tuh ga ada yang pure 100% tanpa mengharap sesuatu!"sergah Windu yang membuatku terdorong ke belakang karena tangan Windu mendorong pelan pundakku.

"Iya, aku baru sadar, kata-katamu terbukti kemarin."jawabku lemah. Mengakui kekalahan.

"Reza baik karena dia udah lama suka. Kamu aja yang ga peka."kata Windu lagi.

"Masa?"

iya juga ya. Aku tak pernah memikirkan ini sebelumnya. Kalo manusia tertarik dengan manusia lain, maka sudah pasti akan mendekat. Dan bertahan selama mungkin berada di dekat orang itu.

Aku bukannya ga pernah jatuh cinta. Saat dengan Bayu, perasaan ingin dekat itu selalu ada. Karena aku tertarik dengannya. Pastinya ini juga berlaku untuk Reza. Ketika kuliah, tak mungkin Reza mendekat kalo tak tertarik padaku. Ish, Dhiya naif banget sih kamu!

"Coba kau pikir. Udah berapa lama kamu temenan sama Reza?"tanya Windu.

"Mungkin udah hampir 5 tahun..." jawabku sambil menghitung-hitung.

"Nah kan lama tuh. Waktu itu kamu ada Bayu, ga mungkin lah Reza nembak. Sekarang setelah dia pikir kamu udah sembuh dari luka lama, dia berani maju." Windu menganalisa.

"Aku belum bilang, 4 harian lalu, Reza mampir ke rumah dan ketemu Bulik Sum."kataku cepat.

Windu menutup mulut dengan kedua tangannya. Mengekspresikan kaget.

"Pasti ngomongin; umur 24 tahun tuh harusnya udah nikah, kan masih kuat ngelahirin anak, momong anak...bla bla bla..." Windu menirukan gaya Bulik Sum dengan tepat, membuatku terkekeh sesaat karena lucu.

"Iya, dan itu ga cuma di depan Reza. Ada Mas Danar."aku menunduk, rasa malu kala itu masih melekat kuat diingatanku.

"Hah!!"

Aku tersentak kaget.

"Apa sih?" protesku.

"Rival..." jawab Windu singkat dengan nada suara rendah. Berasa lagi membawakan acara horor.

Eh? Apa? Rival? Kok Windu bisa kepikiran sampai situ?

Setelah kuingat-ingat, iya juga ya, kan waktu itu aku merasa seperti barang yang sedang dipajang dan ditawarkan ke pembeli. Pastinya Reza berpikir kalo Mas Danar ada kesempatan dekat denganku pastinya mau. Apalagi Mas Danar kerja di rumahku, pastinya lebih sering ketemuan.

Tunggu... Tapi kan aku ga tau mas Danar itu lajang apa enggak.

"Hey!"

Lambaian tangan windu di depan mataku membuyarkan lamunan.

"Baru sadar, neng?"

Aku mengangguk.

"Tapi kan Mas Danar belum tentu lajang."kataku lagi. Menyuarakan rasa heran.

"Ah itu ga penting buat Reza. Selama dia laki-laki, itu rival, Dhi."

Penjelasan Windu masuk akal sih.

"Kamu tuh ya, ulang tahunmu tuh 4 bulan lagi. Ya jelas aja Bulikmu kebat kebit. Apalagi prinsip 24 itu. Ga heran lah ketemu 2 cowok potensial ya langsung jadi saleswoman." Windu melanjutkan analisisnya.

Kupegang kepalaku, serasa berat dan butuh bantuan tangan menyangganya tetap di tempat.

"Aku benci prinsip 24 itu... gara-gara itu, tak ada lagi rasa malu menawarkan anak gadis. Harus dimaklumi karena tradisi.huh." sungutku kesal.

"Kalo gitu, kamu harus menjawab Reza. Kalo mau terima aja, biar Bulikmu ga ngejar lagi. Setidaknya sementara karena melihat kamu udah ada pasangan. Selanjutnya mungkin bisa ditunda 2-3 tahun sebelum ada pertanyaan kapan nikahnya?. Gimana?"

Windu mencoba memberiku solusi yang kupikir aneh. Memanfaatkan Reza jelas bukan sesuatu yang gampang buatku. Reza serius. Aku bisa merasakan itu. Jahat banget kalo aku sampai mempermainkan keseriusannya.

"Win... ga baik ah memainkan perasaan orang."kataku pelan.

"Iya juga sih. Jahat Namanya. Aku mendukungmu apapun keputusanmu." Pungkas Windu dengan senyuman dan genggaman tangan yang menguatkan hatiku.

Kali ini aku sudah bisa memutuskan.

#Happy reading :) jangan lupa vote nya yaaa, Readers. Author pengen ada penyemangat niiih.

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now