Chapter 9: Liku-liku Bagian 2

39 1 0
                                    

"Dhiya, aku udah lama pengen ngomong."Reza menghentikan langkahku menuju lokasi pembangunan. Kubalikkan badan menghadap Reza.

"Kenapa?"

"Kita udah lama berteman. Kamu kenal aku, aku kenal kamu juga. Udah tau lah satu sama lain." Reza berdehem.

Aku masih menunggu. Tak sabar rasanya.

"Terus?"

"Terus... Apa kamu mau mengakhiri pertemanan kita?"

Pertanyaan Reza membuatku kaget. Apa gara-gara pertanyaan Bulik Sum membuatnya tersinggung jadi dia mau menjauh? Apa sih?

"Maksudmu apa sih?"tanyaku tak sabar.

"Iya. Pertemanan diakhiri dan diganti dengan hubungan lainnya."jawab Reza berbelit-belit.

"Apa sih? To The Point aja deh. Dhiya ga ngerti nih maksud kamu, Za." Jawabku dengan nada jengkel. Entah kenapa rasanya geregetan aja kalo ngomong sama orang yang muter-muter ga jelas intinya.

"Eh, Oh, itu, maksudku, kita pacaran."jawab Reza cepat seperti takut aku akan segera pergi meninggalkannya kalo tak segera jelas.

"Hah?!"

Kaget! Kaget banget! Otak berasa kosong. Kuping berdenging. Apa yang baru saja kudengar? Ga salah? Batinku berkecamuk.

"Eh, Ah, Dhiya, ga usah jawab sekarang. Aku nunggu kok. Pikirin dulu aja, ya?" Sejenak mata Reza menatapku dalam, kemudian dia melangkah menjauh ke arah pembangunan gedung.

Aku masih terpaku. Tak percaya mendapat pernyataan cinta tiba-tiba. Jauh dari kata romantic. Pernyataan cinta yang diiringi suara berisik alat berat, dentingan besi, dan suara pekerja proyek. Pernyataan cinta macam apa ini?

Aku menggelengkan kepala mencoba mengusir kata-kata Reza yang bergema di kepala.

- "Kita pacaran." -

Kulangkahkan kaki menuju lokasi pembangunan dan bertemu mandor proyek. Di sana Reza sudah terlihat berdiskusi dengan sang mandor. Tanpa sadar aku menghindari tatapan mata Reza saat melihatku datang ke arah mereka.

Kami berdua seperti orang asing. Di dalam mobil Reza, aku tak mengucap sepatah katapun. Aku yang biasanya ceriwis seperti kehilangan kata-kata. Aku bingung bagaimana harus berhadapan dengan Reza. Canggung? Sangat canggung. Sebenarnya tadi aku sudah menolak Reza mengantar pulang karena kupikir aku bisa naik taksi. Bukan apa-apa. Aku menghindari suasana yang sekarang ini berlangsung.

Selama ini aku hanya menganggap Reza teman baik. Teman kuliah yang mau mendengarku, teman seperjuangan saat desain proyek mentok, tempat bersenda gurau setelah penat bekerja. Tak ada terbersit niatan menjalin cinta dengannya. Rasaku untuknya sebatas teman baik. Lebih ke seorang adik kepada kakak, karena selama ini Reza selalu siap membantu, melindungi, menjaga. Bukannya itu peran kakak yang baik?

Kenapa tiba-tiba Reza mengatakan itu siang ini?

Apa karena desakan Bulik Sum?

Apa memang selama ini hanya aku yang terlalu polos?

Windu pernah bilang, persahabatan cowok cewek tuh ga ada yang murni. Pasti ada pengharapan didalamnya. Tapi aku selalu bilang, Reza tulus jadi temen baik, sahabat setiaku.

Kata-kata Windu terbukti hari ini. Entah Windu bakal ngomong apa saat tahu tentang hari ini. Aku ga peduli apa, aku butuh Windu. Saat ini aku harus menumpahkan semua beban ini pada sahabatku itu. Aku butuh second opinion. Sebab aku sendiri tak tahu harus bagaimana menjawab Reza. Aku tak mau persahabatanku dengannya rusak karena penolakan cinta, sementara aku juga ga bisa memutuskan untuk menerimanya.

Sungguh rumit jawaban soal ujian hari ini. Aku ingin bilang abstain dalam memilih antara menolak atau menerima.

Tanpa bisa kutahan, aku menghela napas. Reza menengok ke arahku, lalu berdehem.

"Dhi, aku ga maksa kok."katanya pelan dan lembut. Seperti berusaha membuatku lebih rileks. Aku menatap wajahnya sekilas, lalu kembali kupandangi jemari di pangkuanku.

"Oke."jawabku lemah.

Tak ada pembicaraan lanjutan sampai mobil berhenti di depan rumah. Akumengucap terimakasih dan turun dari mobil. Sesaat kemudian Reza melajukanmobilnya meninggalkan pekarangan.


#Yuk! Yuk! Vote donk... udah maraton update nih hehe... 

Happy reading :)

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now