Chapter 15: Main Kata

33 0 0
                                    

#Vote and Follow sebagai bentuk penghargaan karya. Happy reading :)

POV Danar

Dhiya, Dhiya, aku benar-benar gemas dengan tingkah gadis itu. Aku menangkap sinyal kalo dia mulai menyukaiku. Entah aku yang terlalu perasa atau memang itu benar adanya. Aku tak mungkin ragu-ragu lagi. Jika aku meragu, maka nasibnya akan terjadi hal yang sama seperti terakhir kali.

Terganggu pikiran tanpa kepastian. Menurutku Dhiya itu tipe yang suka hal-hal yang bisa dipastikannya. Bukan hal abstrak. Dia seorang arsitek yang menyukai tampilan nyata.

Dengan pertimbangan seperti itu, aku mendorong diriku untuk lebih berani mengungkapkan apa yang ada di pikiranku. Apalagi hari ini dia memintaku menyebut nama tanpa embel-embel sapaan sopan semacam mba, mas, pak, bu lagi. Artinya dia kan ingin ngobrol dengan santai denganku.

Aku tak membuang waktu lama, segera kucarikan slot untuk bisa mengerjakan apa yang diminta Simbahnya. Kulihat ada waktu senggang di hari Kamis minggu depan, jadi aku akan datang di hari Rabu sore supaya aku ada kesempatan 2 kali ke rumahnya. Strategi yang agak bertele-tele, tapi aku juga tak mau gegabah, buru-buru tanpa persiapan matang.

Kuambil ponsel dan mulai membuat janji dengan Dhiya. Ah, bahagianya saat pesan langsung mendapat respon.

"Kang, emak butuh bantuan sama kunci lemari."suara Udin membuatku berhenti tersenyum-senyum dan membuka pintu depan. Mendapati Udin tampak cemas dan gelisah.

"Kenapa kunci lemarinya?"tanyaku sambil menyambar peralatan.

"Macet, kang. Padahal emak butuh dokumen di lemari itu buat urusan sama sekolah Didik."jawab Udin sambil mengikuti Langkah cepatku ke arah rumahnya. Didik adalah adik Udin yang masih SMP.

Sebenarnya aku bertindak cepat karena acara berbalas pesan dengan Dhiya belum selesai. Baru pemanasan, eh dating nih gangguan. Nasib, nasib...

Selesai dari urusan dengan tetangga, aku pulang dengan setengah berlari. Berharap gadis itu masih berminat untuk saling berbalas pesan dengannya lagi sampai paling enggak jam 10 malam ini.

Huuuft... hati kecewa. Pesan-pesan yang kukirimkan, ajakan makan bersama di luar, tak jua berbalas. Aku berpikir positif aja, mungkin dia kelelahan hari ini dan tertidur. Akhirnya kuletakkan si ponsel dan membaringkan tubuhku di ranjang. Rasa penat baru kurasakan saat punggung ini menyentuh empuk dan hangatnya kasur. Tak berapa lama akupun terlelap.

POV Dhiya

Ponselku berdenting. Ada pesan masuk. Buru-buru kulihat pesan dari siapa.

1 pesan baru dan tertulis nama Mas Danar. Jariku dengan cekatan menyentuh layar untuk membuka pesan.

--Malam, Dhiya. Udah tidur?

Aku membaca tulisan itu perlahan-lahan. Jemariku menari di atas keypad menulis balasan.

--Belum. Kenapa, Mas?

Ah... aneh. Kuhapus tulisan itu. Jemariku Kembali mengetik.

--Belum. Masih ada yang harus digambar

Kali ini kutekan tombol kirim dengan mantap.

--Rajin banget. Hanya mau kasih kabar. Ukirannya kukerjakan hari Rabu sore jam 3. Maaf ga bisa sehari jadi.

Yeaaay!!

Aku berjingkrak di ranjang.

Bisa ketemu lagi dan lagi. Sungguh Bahagia.

--Oke. Kerjakan santai aja Mas.

Lama susunan pesan tak bergerak. Tak ada pesan baru masuk. Kenapa ga respon? Kuletakkan ponsel dengan kecewa.

"Nduk, ada Nak Reza."panggilan Simbah membuatku berhenti memikirkan pesan tak berbalas itu.

"Iya, Mbah."jawabku.

Kulangkahkan kaki keluar kamar, sengaja meninggalkan ponsel di atas ranjang. Sebal.

"Hai, Za. Udah selesai Fasadnya?" kuhampiri Reza yang tampak duduk di pendopo. Sejak penolakan itu memang Reza jaga jarak. Biasanya dia akan langsung masuk ke ruang tengah dan mengajak Simbah ngobrol sementara menungguku keluar menemuinya.

Ada rasa kasihan menelusup ke hati. Hubungan pertemanan kami memang tak berubah. Tapi rasanya kedekatan kami memiliki celah lebar.

"Udah. Coba kamu kasih masukan dulu," Reza memutar posisi layar laptopnya ke arahku.

Aku mengamati dengan seksama, kemudian kami pun terlibat diskusi intens yang lumayan panjang.

Dari dulu kami biasa seperti ini. Betah berdiskusi lama bahkan malam hari sekalipun.

"Dhi, lanjut besok ya, udah jam 10 ni. Ga enak sama Simbah." Reza melihat arloji dipergelangan tangannya.

"Oke. Ati-ati pulangnya ya, Za."

Kuantar Reza ke pekarangan tempat mobilnya terparkir dan melambaikan tangan saat mobil meninggalkanku.

Kubereskan kertas-kertas di meja dan melangkah masuk ke kamarku. Kuletakkan semua kertas-kertas gambar itu di meja dan berniat ke kamar mandi untuk gosok gigi. Tapi langkahku terhenti saat melihat ponselku tergeletak pasrah di ranjang. Rasa penasaran menelusup dan berhasil menguasai tanganku untuk meraih ponsel itu dan mengusap layarnya.

4 pesan baru dari Mas Danar!

Buru-buru kududuk di tepi ranjang dan mulai membaca pesan.

--Dhiya, apa boleh sesekali makan siang bareng di luar?

--Ga maksa sih. Pengen ngobrol aja. Sebenarnya aku sempat kuliah desain interior. Siapa tahu aku bisa praktekin ilmunya.

--Dhiya? Udah tidur ya?

--Oke Selamat Tidur.

Aih... nyesel rasanya tadi ponselnya kutinggalkan begitu saja. Berhubung sudah malam juga, lebih baik kubalas pesannya besok pagi aja.

Pagi itu, begitu bangun tidur, tak seperti biasa langsung kuraih ponselku dan mulai mengetik.

--Maaf, Mas. Semalam pesannya belum dibalas. Kapan mau ajak makan siang? Traktir ya?

Kutunggu dengan sabar. Kali ini tak ada rasa kesal saat menantikan jawaban. Terlihat di layar status Mas Danar sedang mengetik.

Ponselku berdenting, layar menyala. Segera kuusap layar untuk membaca balasannya.

--Besok bisa? Makan resto dekat kantormu.

Wow, cepat sekali! Hatiku berbunga.

--Oke. Makan di Café Arion ya. Ga jauh kok dari lingkungan Wirobrajan.

Jariku selesai mengetik dan dengan senyum manis kutekan tombol kirim.

Tak lama balasan datang.

--OK

Ah senangnya... berasa kencan.

Huft... Dhiya, dia mau ngobrol kerjaan. Jangan kebablasan deh.

Hati kecilku seperti mengingatkanku untuk tetap membumi. 

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now