Chapter 1: Ini Aku dan Citaku

133 3 0
                                    

POV Dhiya

"Dhiya, sarapan, Nduk", panggilan Simbah membuatku berlari kecil keluar kamar. Aku baru saja selesai menyisir rambut sebahuku.


"iya, mbah...", jawabku lembut.

Sesuai aturan jawa, setiap panggilan harus segera dijawab dengan sopan dan setiap orang yang muda harus bertutur kata lembut kepada yang lebih tua.

seorang wanita paruh baya berambut perak duduk di ujung meja makan jati panjang. beliau adalah Simbah Marsudirini, nenekku, dan biasa dipanggil Simbah Mar.

Beliau tersenyum lembut saat kuhampiri untuk kucium tangannya.

"udah siap berangkat to, Nduk?", tanyanya.

Aku duduk di sebelah kanan Simbah dan menjawab, "iya, Mbah. Hari ini Dhiya harus survey ke Demak Ijo. Jadi berangkat lebih pagi."

"Ati-ati, Nduk. Jauh. Kenapa bukan Nak Reza aja yang kesana?", Simbah Mar menyendok nasi ke piring dan mengambil 2 sendok sayur lodeh di depannya. Aku juga mulai mengambil nasi dan sayur.

"Bareng kok, Mbah. Dhiya sama Reza yang disuruh boss kemarin." jawabku sambil mulai menata nasi dan sayur di sendok, siap kulahap.

"hmmm", gumam Simbah Mar. Tampaknya beliau lega aku tidak sendirian di lokasi proyek.

Aku seorang arsitek. Belum pantas disebut ahli, sih. Setidaknya aku sudah ada beberapa pengalaman membuat desain rumah dan bangunan lain sejak masih di bangku kuliah.

Anak perempuan masuk teknik arsitektur?


iya, bapak ibuku juga awalnya kaget dengan jurusan pilihanku. Simbah Mar juga beberapa kali bertanya, beliau merasa aku salah contreng atau salah ketik jurusan pilihanku saat pendaftaran online.

Namun, seiring perjalanan hidupku. keraguan mereka sirna. aku benar-benar mampu belajar di fakultas yang menjadi sarang makhluk Mars itu. IPK yang kudapat juga tidak mengecewakan, di atas 3,6. Jadi, jangan ragu wahai makhluk Venus. Kalian tak akan kalah hebat di fakultas teknik.

"Bu, sudah mulai ya sarapannya. Sum bawakan baceman. Kemarin Galih pulang minta baceman, lha kok buru-buru pulang sebelum matengan. Katanya ditelepon kastamer", cerocos Bulik Sum sambil menghampiri Simbah Mar dan mencium tangannya.

Bulik Sumiyanti ini adalah adik kandung Bapak. Beliau anak ke-3 Simbah Mar. Anak-anaknya sudah mapan semua, ada 2 anak, Desi dan Galih. Keduanya sudah punya keluarga sendiri dan tinggal di luar kota Yogyakarta. Bulik Sum telah menganggapku anak sendiri sejak Bapak dan Ibuku tiada. Beliau sangat sayang padaku, hanya saja kadang caranya membuatku tak nyaman. Terutama terkait tradisi keluarga Simbah, usia pernikahan.

"Ya, Sum... sini aku mo nyicip", kata Simbah Mar sambil tertawa mendengar cerita Bulik Sum.

"Ayo Dhiya, ambil juga, yang banyak. Mau dibungkusin buat bekal?", tanya Bulik Sum.

Aku buru-buru menelan makanan dan menjawab sopan, "tidak usah repot, Bulik. Dhiya keluar kantor hari ini. Siangan udah pulang kok."


"oh.. ya udah, syukurlah ada yang bantu makan. lha Paklikmu itu malah ke rumah Pakdhe Bardan je. yo mesti makan disana."keluh Bulik Sum.

"yo ra popo to, Sum. Silaturahmi sama kakaknya kok dicemberuti", komentar Simbah Mar.

"Simbah, Bulik, Dhiya berangkat ya", pamitku. kucium tangan keduanya dan segera ke kamar mengambil peralatan tempurku.

"oalah... mula awak kuru, mangan wae nganggo mlayu (pantas saja badan kurus, makan saja pakai lari)", komentar Bulik Sum terdengar rewel, namun aku sudah terbiasa dan itu adalah salah satu tanda beliau sayang padaku.

Tak berselang lama, aku sudah menyalakan mesin motor maticku. Biasanya aku bersepeda ke kantor, tapi ada saat-saat tertentu aku mengandalkan motor ini dan mengistirahatkan onthelku.

Sayup-sayup kudengar suara motor mendekat. Saat aku menoleh, kulihat Reza dan motornya sudah berhenti di depan pagar rumah Simbah.

"Udah siap blom?", tanyanya tanpa membuka helm.

"Udah, yuk!" ajakku setelah kupakai helm di kepala dan tas aman di gantungan depanku.

Kami berkendara beriringan sampai Demak Ijo, lokasi proyek kami selanjutnya. Perjalanannya tak lama hanya sekitar 10 menit, hanya 3 kiloan dari Wirobrajan, daerah rumah Simbahku.

Proyek ini adalah gedung perkantoran 2 lantai yang dijadwalkan selesai desainnya dalam 1,5 bulan. Waktu yang panjang karena desain fasad (tampilan muka bangunan) yang unik. Desain per lantai juga berbeda, harus dibuat sesuai selera klien tanpa mengurangi estetika dan standar keamanan bangunan.

Setengah hari, aku dan Reza mempelajari objek proyek kami ini. Terik matahari terasa perih di kulit, padahal aku sengaja memakai kemeja lengan panjang dan menutupi kepala dengan topi pet.

"kamu kepanasan?" aku kaget mendengar Reza tiba-tiba sudah berdiri di depan ku dan bertanya.

"iya nih, panas nyaa..."keluhku santai sambil tangan kukipas-kipas.

Kami memang bukan baru saling kenal. Kami berteman sejak semester 1 kuliah. sudah lumayan lama. aku tak perlu malu mengatakan apa yang aku rasakan. tak perlu jaim.

"mau dipayungi, tuan putri?", candanya,

"heleh...", cibirku. kami berdua tertawa.

Tawa kami terhenti saat Klien menghampiri kami dan bertanya,"apa ada masalah?"

"Tidak, pak. Kami sudah cukup mengumpulkan informasi untuk desain awal. Selanjutnya kami minta waktu 1 Minggu untuk membuat desainnya. Minggu depan kami minta waktu bapak untuk membicarakannya." jawabku cepat.

Klien kami, Pak Sundoro, tersenyum sumringah. "Memang beda ya kaloyang menangani anak muda. Gesit dan optimis. Saya pasti sediakan waktu minggudepan." jawabnya mantap.

Dua Puluh Empat [END]Where stories live. Discover now