Part 2

47.4K 1.6K 92
                                    

Pintu kamar Anin terbuka dengan bunyi brak keras, kemudian sahabatnya masuk dengan tampang yang masam.

"Kalo pintu kamar gue rusak, pintu mobil lo yang bakalan gue patahin." Anin mengancam tanpa menoleh pada Caca, ia asik memakan macaroni sambil menonton serial Squid Game di Netflix.

"Kesel gue sama abang lo!" Caca mengadu, mencari perhatian Anin yang masih tetap tak peduli dengan apa yang dilakukan Caca.

Bukannya Anin tidak peduli betulan pada sahabatnya, masalahnya adalah Anin betul-betul tidak paham dengan jalan pikiran Caca yang absurd. Sahabatnya ini sudah dua minggu selalu datang ke apartemennya semenjak kakak tirinya pindah ke sini.

Alasannya tentu saja karena dia ingin mendekati Rangga, si manusia kaku bak kabel baru beli itu. Anin padahal sudah mewanti-wanti Caca bahwa usahanya akan sia-sia. Sekali lihat saja, Anin sudah tahu bahwa Rangga bukan tipe orang yang mudah didekati.

Ia terlalu pendiam, bukan pendiam karena pemalu. Tersenyum saja jarang ia lakukan, pokoknya Anin gak suka sama lagaknya yang sok cool itu!

"Masa dia cuekin gue yang udah cantik gini. Dia nanya, mau tampil dimana Mbak Caca pake baju adat?!"

Aku menyemburkan Macaroni yang belum sempat kukunyah, tertawa terbahak-bahak sambil sepenuhnya memperhatikan penampilan sahabatku. Caca benar, dia terlihat memukau, terlalu memukau dengan dress rancangan desainer yang motifnya mirip baju adat Jepara.

Caca cemberut, menggeplak paha Anin karena menertawakan dirinya.

"Lagian ngapain sih lo pake pakean begini, bener aja dia nanya lo mau tampil dimana haha.. " Anin masih tertawa, rasanya melihat wajah Caca lebih menghibur dibanding menonton peserta terbunuh yang ada di Squid Game.

"Yaa.. Gue kan niatnya mau caper ke dia karena dia dari daerah, jadi gue pake baju gini lah biar keliatan lebih anggun dan manis." Caca berkata serius, ia mulai membuka kancing depan bajunya, membuangnya sembarang, berjalan ke sudut ruangan dan mulai membuka lemari baju milik Anin.

"Gak usah aneh-aneh makannya, dibilang percuma. Lagian ngapain sih lo keuhkeuh banget deketin manusia kabel." Anin melempari sahabatnya yang sedang memilih baju miliknya untuk dipinjam dengan Macaroni.

Ia berdiri, ikut memilihkan baju yang cocok di tubuh Caca yang lebih kecil dari tubuhnya.

"Tapi nin, gue ngerasa sikap Rangga ke elo beda gak sih? Dia lebih sering ngajak lo ngobrol duluan, padahal dia gak pernah ngobrol sama siapapun."

"Halah, itu karena dia numpang di apart gue, biasalah jilat adek tirinya sendiri."

"Ihhh, mau dong dijilat Ranggaaaa.. " Caca membuat suara menjijikan ketika mengatakan itu. Anin menoyor kepalanya yang penuh kemesuman.

"Nih pake, gak akan kedombrongan kalo lo pake ini." Anin memberikan kaus berwarna beige pada shabatnya yang masih cemberut.

"Udahh nyerah aja, gebetan lo banyak tuh nunggu diajakin jalan sama lo."

"Ahh, bosen bangett gue. Gue tuh maunya Rangga. Lihat deh kulit putih pucetnya, gue udah bisa bayangin adegan romantis mirip Film Twilight! Berasa pacaran sama vampir gak siiihhh??!" Caca mulai kembali absurd dengan omongannya.

Anin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar bayangan random dari sahabatnya. Caca benar, kulit Rangga sangat pucat bak mayat hidup. Tidak seperti kulit Anin yang coklat. Anin curiga, Rangga berbohong bahwa ia tinggal di desa sebelumnya.

Bukannya harusnya ia memiliki kulit hitam layaknya orang-orang yang datang dari desa ya? Menyebalkan!

"Udah ah jangan lebay, kemarin bilang mirip Shawn Mendes, sekarang mirip Cullen. Dia tuh Rangga Batara, anak gunung!" Anin kembali menoyor Caca yang bertampang oon dengan fantasinya sendiri. Anin berbalik untuk mengambil kunci mobilnya di atas laci.

Kamar SebelahWhere stories live. Discover now