Part 17

32.9K 2.2K 395
                                    

Anin pernah dicium, bahkan lebih parah daripada sekadar berciuman. Dulu Wisnu pernah membuatnya mabuk dan meraba-raba seluruh tubuhnya. 

Rasa familiar seperti tersetrum memang ada, bahkan Anin sempat mendesahkan nama lelaki bajingan itu ketika mereka bercumbu, tapi mengapa saat ini terasa berbeda?

Ada rasa akrab yang nyaman saat tangan besar kakak tirinya menangkup pinggang Anin, mengelus tubuhnya dengan keahlian yang memabukkan.

Andai Rangga tahu bahwa jantung Anin kemungkinan sudah tidak berfungsi, benda itu berhenti mengalirkan darah ke seluruh organ tubuhnya tepat ketika lidah panas Rangga menjulur, kemudian Anin benar-benar menyerah saat Rangga menghisap kuat-kuat lidah Anindira yang kecil.

Anin menahan air liurnya untuk tidak keluar dari mulut, tubuhnya terasa lemas, jika saja Rangga tidak menahan pinggangnya kuat-kuat mungkin Anin akan terbaring di atas meja.

Ahhh… Jangan…” Anin memejamkan matanya rapat-rapat, sialannya dia sangat menikmati ketika Rangga justru menghisap semua air liur yang berusaha ia tahan untuk tidak keluar.

Lelaki gila ini menekan tengkuk Anin, memakan bibirnya dengan suara kuluman yang membuat Anin pusing.

“Mas….” Anin limbung, ia menepuk-nepuk punggung Rangga agar berhenti memakan mulutnya, rasanya ia hampir pingsan, kepalanya terasa pening dan ia kesulitan untuk bernapas.

Rangga berhenti, dadanya naik turun melihat bibir bengkak Anin yang bergetar, gadis itu terengah saat mencoba mengatur nafasnya.

“Maaf…” suara Rangga sengau, campuran antara geraman dan serak yang terdengar sangat nyaman di telinga.

Anin menatap kakak tirinya, bahkan lelaki ini terlihat sangat indah dengan rambut mencuat karena Anin jambak barusan.

“Aku gak tahu,…” Anin mencoba menjelaskan sesuatu, seperti mengapa ia bisa membalas ciuman Rangga setelah kejadian tempo hari ketika gadis itu justru menampar Rangga saat menciumnya.

Rasanya bagian paling menyebalkan di diri Anindira sedang menertawakan rasa malunya di pojokan, Anin ingin menjedotkan kepalanya ke tembok sekarang.

Rangga mengelus rambut adik tirinya, berniat mendengarkan Anin menyelesaikan apa yang ingin ia katakan, namun sepertinya adiknya yang manis tidak bisa berkata-kata, gadis itu hanya bernafas dengan tempo cepat, terengah dan terlihat sangat lezat di mata Rangga.

Jika mereka sedang dalam keadaan normal, mungkin Rangga akan menertawakan Anin yang terlihat tergagap dan tidak bisa menyelesaikan ucapannya.

Namun melihat wajah Anin yang memerah, matanya yang menerawang membuat tubuh Rangga berdesir, Anin yang sekarang ada dalam dekapannya hampir mirip dengan Anin yang biasa masuk ke kamar Rangga setiap malam.

Sebenarnya Rangga ingin sekali memberitahu Anindira mengenai kebiasannya saat sedang tidur, namun Rangga tidak ingin melihat kesedihan ada di wajah Anin, kalau bisa Rangga hanya ingin melindungi Anin dari kebiasaan tidurnya itu, membuatnya sembuh tanpa harus gadis itu tahu.

“Tidur ya, istirahat. Jangan lupa kunci pintunya. Besok kelas terakhirmu jam berapa?”

Anin menatap kakak tirinya yang tampan, melihat mata sendu lelaki ini yang menyenangkan, suaranya benar-benar membuat detak di jantung Anin yang berhenti kembali menggila. 

Rasanya Anin ingin menggapai kepala Rangga dan memintanya menciuminya lagi seperti tadi.

Tapi otaknya yang rumit benar-benar memprotes sekarang, saking rumitnya hingga membuat Anin membeo dan tidak tahu harus berkata seperti apa untuk menjawab pertanyaan Rangga.

Kamar SebelahDonde viven las historias. Descúbrelo ahora