Part 11

34K 1.7K 165
                                    

Harusnya part ini akan dibuka dengan cerita dari sudut pandang Rangga Batara, namun sepertinya adegan saat Anindira Arabel membuka pintu apartemennya dengan wajah kusut tidak bisa kita lewatkan begitu saja.

Sudah hampir satu minggu, karena sekarang masih tengah malam saat ia memutuskan kembali ke apartemennya sendiri, ia tak tahan dengan suara-suara kecipak yang Caca timbulkan setiap kali sahabatnya itu membawa pulang teman kencan satu malamnya.

Memang, salah Anindira yang masih saja bertahan di rumah bordil itu selama enam hari penuh, harusnya setelah dua hari ia sudah pulang ke apartemennya saja, daripada menjadi saksi perzinahan yang sahabatnya lakukan.

Ia bersyukur masih punya sedikit kewarasan dan tidak pernah mencicipi hal yang berdasar pada informasi tak valid yang Caca berikan, bahwa sekali merasakan bagaimana vaginamu dijilat, maka kalian akan terus mendambakan hal itu, akan menginginkan hal yang lebih dari jilatan, akan ketagihan saat merasakan benda asing merangsek memasuki lubang sensitif di bagian bawah tubuh kalian itu.

Dan sekarang Anindira merinding, bisa-bisanya ia justru mengingat omong kosong Caca tentang seks.

Ini membuatnya semakin frustasi, ia terus merasa uring-uringan, tidak tahu harus bagaimana untuk menghilangkan rasa kesal yang ia rasakan.

"Kayanya gue ada di tahap stress akut." Anin mendesah, ia menyeret ranselnya ke kamar, merebahkan diri di atas ranjangnya yang lembut.

Ia teringat semua pesan suara yang ia kirimkan ke nomor ponsel Rangga. Bajingannya, lelaki sialan itu sama sekali tidak membalas pesan suara yang masuk, Anin tidak berani menelepon secara langsung, ia sengaja mengirim voicemail karena takut merasa canggung.

Pikirkan saja, ia harus berbicara apa saat lelaki itu mengangkat panggilannya?

Apa yang harus ia katakan? Bukankah Rangga akan merasa aneh karena pertemuan terakhir mereka ditutup dengan Anin yang menampar pipi lelaki itu dengan tamparan yang, hmm bisa dibilang cukup menyakitkan.

Karena hey!! Pipi lelaki itu merah, apalagi mengingat pandangannya yang mengintimidasi, seakan Rangga mengatakan pada Anin tanpa bersuara kalau lelaki itu akan balas dendam.

"Aaahhh bisa gilaa gue...!!! Kenapa susah banget untuk bersikap biasa aja!!!" Anin berteriak, bergerak menendang-nendang udara di atas kasur lembutnya.

"Gimana keadaannya, gue pengen tahu apa dia baik-baik aja!" Kembali, Anin bermonolog dengan dirinya sendiri.

Padahal dia tahu kalau ibu dan ayah tirinya sudah pulang ke Jakarta, meninggalkan Rangga di Lumajang sendirian, Anin sangat mengkhawatirkan lelaki itu, namun sisi dirinya yang egois tidak akan pernah mau kalah.

Mereka mengikat secuil rasa simpati yang Anin miliki untuk lelaki itu, memborgolnya sampai Anin merasa tercekik frustasi.

Mata Anin berkaca-kaca, kenapa dia sangat moody? Kenapa keadaan Rangga sangat membuatnya khawatir sekarang?

Anin mengangkat tubuhnya sendiri dari atas kasur, terseok saat pandangan buramnya membuka pintu kamar dan memandang pintu lain di seberang kamarnya.

Ia tidak ada maksud apapun saat kedua kakinya melangkah mendekat, Anin berpikir Rangga mungkin akan mengunci pintu kamarnya ketika ia pergi jauh, jadi Anin hanya memastikan saja saat ia memegang gagang pintu dan menggerakkannya ke bawah.

Bunyi pintu terbuka bahkan membuat Anin terperanjat, ia tak menyangka akan mendapati kamar beraroma musk ini terbuka tanpa ada pemiliknya di dalam.

Anin mengitari pandangannya lagi, melihat spot terakhir mereka di sana, mengingat momen saat bibir mereka saling bersentuhan.

Caca benar, kenapa Anin membalas ciuman Rangga kalau ia bisa langsung menolak di detik pertama bibir Rangga menubruk bibirnya?

Kamar SebelahWhere stories live. Discover now