Part 14

38.7K 1.8K 233
                                    

Mengapa seekor anjing yang tertidur di bawah sinar matahari terlihat sangat indah dalam acara semacam national geography, atau seekor buaya yang dengan kejam mengunyah rusa terlihat sangat gagah sewaktu kita melihatnya dalam layar kotak televisi?

Sedangkan manusia, aku tak mengerti mengapa aku terlihat sangat konyol sekarang, padahal aku tidak merasa sedang telanjang atau melakukan hal aneh seperti mengupil di depan dosen.

Oke, ini terlihat konyol karena Anindira sedang melotot padaku, menatapku dengan pandangan yang benar-benar terluka, ditambah amarah yang seakan hendak merobek diriku menjadi serpihan dan membuangnya di Bantar Gebang.

“Lo bilang gak inget apapun?” ia kembali menegaskan pertanyaannya, mungkin kurasa ia sudah menanyakan hal itu tiga kali sekarang.

“Yaa…” aku menjawab, berusaha setenang mungkin, sebisa mungkin untuk mengontrol ekspresi wajahku tetap datar saat menatap wajahnya yang anehnya terlihat semakin cantik.

Kami ada di dapur, kami dipisahkan oleh meja tinggi dengan Anin yang berada di seberangku, rasanya aku ingin mengatakan padanya bahwa aku amnesia atau dia yang amnesia dan kini kami berdua sedang meributkan hal yang tidak penting.

Tapi Anindira memakai tanktop dan celana tidur gombrong kesukaannya, seakan meledekku untuk terus memperhatikan bentuk payudaranya yang bulat sempurna.

“Gak liat merah-merah di sepanjang leher gue?” Ia menyentakkan tali tanktopnya ke bawah, bisa-bisanya gadis ini berpikir aku baik-baik saja saat melihat banyak kulitnya yang terbuka.

“Saya lihat.”

“Terus, menurut lo ini ulah siapa?” Anin kembali bermain tebak-tebakan, matanya memicing padaku yang kuyakin terlihat tolol sekarang.

“Nyamuk?” aku menaikkan satu alisku, bersikap tenang pada gadis yang kini berdiri mendadak, membuat kursi yang didudukinya barusan terjatuh dan menimbulkan bunyi yang membuatku benar-benar kaget.

“Nyamuk raksasa mana yang gigitnya ampe begini?? Lo kudu ngaku, kenapa gue bisa begini dan kenapa kita bisa tidur seranjang berdua plus telanjang!!” ia histeris tepat di depan wajahku.

Kukira adik tiriku ini tidak akan begitu peduli dengan kejadian pagi ini. Namun tentu saja aku salah, siapapun yang mengenal Anin akan tahu kalau gadis ini benar-benar tangguh dan keras kepala.

“Kalau kamu panggil saya mas, mungkin saya akan jelasin semuanya.” Aku mencoba bernegosiasi dengannya, dalam hati seratus persen yakin kalau adik tiriku mungkin lebih memilih dipotong lidahnya dibanding memanggilku dengan sebutan ‘Mas’.

Lama kami saling menatap, Anin masih melotot padaku, dadanya naik-turun menandakan bahwa dirinya bernafas dengan cepat. Aku bisa melihat tulang selangkanya yang ceruk, lekuknya membuatku mencoba menahan diri untuk tidak menyentuhnya, merabanya dengan lembut seperti kemarin malam.

“Mas….”

Ha?” aku melongo memandangi bibir bawahnya yang ia gigit.

“Sekarang cerita.”

“Cerita apa?” hentikan Rangga, kamu sedang menyiksa diri sendiri jika terus memandangi objek indah di depanmu, detailnya bisa membuatmu lupa kalau kalian sedang bertengkar.

“Gue udah panggil lo mas tadi.” Anin berbicara, anehnya aku melihat semburat merah di pipinya yang menggemaskan.

Aku mengerjapkan mataku, mencoba menenangkan debar di jantungku yang bersikap aneh, ia berdebar kencang manakala aku melihat wajahnya yang malu-malu sekaligus marah dalam satu waktu.

Kamar SebelahWhere stories live. Discover now