Part 10

36.5K 1.6K 120
                                    

"Mau jadi apa lo, dua hari males-malesan gitu. Kuliah woy!!!"

Aku menutup telinga menggunakan bantal, tidak menggubris Caca yang mencak-mencak, berkacak pinggang di depanku yang sudah dua hari menumpang di apartemen miliknya.

"Berisik banget, gue tahu lo bete. Gak bisa bawa cowok ke sini karena ada gue kan?" Aku melotot padanya, bertampang lebih galak padahal jelas-jelas akulah yang menumpang di tempatnya.

"Gakk!! Lo anggap gue apaaa?"

"Lo kan haus seks."

"Sialan, tapi emang bener." Caca membuang nafas berlebihan, ikut membaringkan diri di sampingku.

Kami menatap langit-langit kamar Caca yang berwarna gelap, tidak seperti penampilannya yang sangat menyukai warna-warna terang untuk ia kenakan.

Caca justru suka gelap untuk hal-hal tersembunyi, seperti langit kamarnya, dalamannya yang rata-rata, tidak, mungkin hampir semuanya berwarna gelap.

Caca memang begitu, ia terlihat sangat ceria dan menyenangkan , padahal sebenarnya dia adalah tipe pemikir, walau banyak berkencan dengan lelaki yang berbeda tiap minggunya, belum pernah sekalipun Caca berkomitmen menjalin hubungan jangka panjang.

Tidak seperti diriku yang menurut Caca tolol karena jatuh cinta pada Wisnu, sebagai pemilik grup gosip kampus, Caca sudah mati-matian memperingatkanku tentang sepak terjang Wisnu sialan.

Namun, tetap saja aku akan buta jika sudah jatuh cinta. Dan salahnya, cintaku jatuh pada Wisnu brengsek, mahasiswa jurusan olahraga itu mendekatiku lebih dari 6 bulan untuk kemudian berhasil membuatku jatuh cinta padanya.

Benar, setengah tahun bukanlah jangka waktu yang singkat. Mau tidak mau aku mengakui kalau Wisnu benar-benar berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, yaitu menjadi pacarku.

Tapi, seiring berjalannya hubungan kami. Aku tak tahu kalau lelaki itu juga menginginkan hal lain yang tidak bisa sembarangan kuberikan padanya.

Aku tidak bersikap konservatif, sekali lagi aku hanyalah wanita normal yang berhati-hati pada diriku yang sangat berharga ini.

Bukannya aku mengatakan kalau sikap Caca menandakan kalau dia tidak berharga. Hanya saja, masing-masing orang mempunyai cara tersendiri untuk menghargai dirinya, kita sebagai orang luar dari susunan organ di tubuhnya, tidak berhak men-judge cara mereka untuk menghargai diri mereka sendiri.

Seperti motto Caca yang masih membuatku geleng-geleng kepala,
"Gue menghargai diri gue sendiri dengan memberikan tubuh gue kebebasan untuk merasakan kenikmatan yang gak akan pernah gue dapetin setelah gue mati."

Memang, itu terdengar konyol. Aku pernah keceplosan betanya pada Caca, jika seks adalah caranya membahagiakan diri, mengapa ia tidak menikah? Itu lebih sah, dan Caca tidak akan merasa bersalah karena berhubungan dengan lelaki yang berbeda setiap minggu.

Caca bilang, "Siapa yang ngerasa bersalah? Gue gak, dan gue gak bisa jalin hubungan monogini."

Lelah kan? Caca punya kepercayaan dan prinsip diri yang kuat, aku menghargainya, tapi aku sama sekali tidak menyarankan kalian untuk hidup seperti sahabatku ini.

Aku juga sama sekali tidak membenci Caca dengan prinsip aneh yang ia punya.

Aku hanya berharap Caca bisa terus bahagia seperti sekarang, ia akan bahagia dengan pilihan hidupnya, dan di sampingnya akan ada aku yang juga hidup bahagia.

Tapi sepertinya, harapanku untuk berbahagia benar-benar sudah ada di ujung jembatan runtuh.

Karena, lihatlah aku sekarang....

Kamar SebelahWhere stories live. Discover now